JAKARTA, KOMPAS.com - Kebijakan terkait perizinan seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai pengganti Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan penetapan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) dianggap menghambat penyediaan perumahan rakyat.
Hal ini disampaikan oleh Pengamat Perumahan Anton Sitorus dalam diskusi Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) pada Selasa (20/9/2022).
Padahal menurutnya masalah perumahan adalah hal fundamental dan kebutuhan asasi manusia.
Terlebih mengingat angka backlog kepemilikan perumahan mencapai 12,75 juta, mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2020.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah menetapkan aturan LSD di sejumlah kabupaten/kota dan provinsi.
Penetapan LSD diharapkan dapat mengendalikan alih fungsi lahan sawah dan memenuhi ketersediaannya untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Ini tercantum dalam Keputusan Menteri (Kepmen) ATR/Kepala BPN Nomor 1589/Sk-Hk 02.01/XII/2021 tentang Penetapan LSD di Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Anton menduga penerbitan aturan seperti PBG dan LSD terjadi akibat Pemerintah tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mengerti tentang perumahan dengan baik.
Mendukung pernyataan tersebut, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan persoalan PBG perlu segera dicari solusinya.
Pasalnya, saat ini ada keengganan Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menerbitkan PBG karena aturan ini diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) yang memerintahkan Pemda mengeluarkan PBG lewat Peraturan Daerah (Perda).
"Nah, Pemda tetap tidak berani mengeluarkan PBG hanya dengan retribusi IMB saja, jadi tetap alasannya tunggu Perdanya. Butuh intervensi kuat dari pemerintah pusat dan Komisi V DPR RI untuk menuntaskan kendala perizinan yang sudah setahun ini terjadi," papar Totok.
Tetapi ada beberapa daerah yang tetap berani mengeluarkan IMB karena merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa dua tahun sampai dengan perbaikan UUCK dilakukan, Pemda bisa memakai aturan lama yakni IMB.
Permasalahannya adalah IMB tidak bisa masuk dalam data Sistem Informasi Kumpulan Pengembang (Sikumbang) sebagai syarat realisasi rumah bersusidi.
Dari sisi LSD, Totok mengeluhkan banyaknya kasus perumahan atau pergudangan yang sudah dibangun tetapi tiba-tiba sekarang ditetapkan sebagai LSD.
Akibatnya, pembangunan dan pasokan rumah menjadi terhambat. Padahal sebagian besar pengembang membangun dengan memakai uang bank, di mana ada cost of fund termasuk bunga yang harus tetap dibayar.
Totok menyebutkan, sebagian besar pengembang rumah bersubsidi adalah usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang perlu dibantu dan didukung.
https://www.kompas.com/properti/read/2022/09/21/160000921/pbg-dan-lsd-dianggap-hambat-penyediaan-perumahan-rakyat