Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sertifikat Elektronik, dan Konflik Pertanahan yang Belum Tuntas

Pemberlakuan ini berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik.

Sertifikasi tanah secara elektronik ini ditanggapi berbeda oleh sejumlah kalangan, termasuk aktivis pertanahan, dan masyarakat internet di media sosial.

Salah dua yang menjadi sorotan yaitu mengenai keamanan penyimpanan data dalam sistem digital, dan penarikan sertifikat analog yang dimiliki pemilik tanah.

Kebijakan digitalisasi sertifikat tanah, sejatinya, telah disampaikan oleh Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil saat mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara penyerahan sertifikat tanah di Istana Negara pada Selasa (5/1/2021).

"Dapat kami laporkan kepada Bapak Presiden (Jokowi), tahun 2021, Kementerian ATR/BPN akan meluncurkan e-sertifikat (sertifikat elektronik)," kata Sofyan.

Dalam acara tersebut, Sofyan mengatakan, BPN sedang menyiapkan berbagai infrastruktur untuk mendukung pelayanan digital tersebut.

Misalnya fitur validasi buku tanah, warkah tanah, serta menyusun berbagai aturan terkait dengan e-sertifikat.

Menurut Sofyan, sertifikat tanah elektronik merupakan salah satu upaya Kementerian ATR/BPN untuk mendorong transformasi digital atau Digital Melayani (Dilan) dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Sofyan mengaku selama ini arah pelayanan di kementeriannya memang didorong untuk memaksimalkan peran teknologi digital. Hal itu sesuai dengan keinginan presiden Jokowi.

Bahkan pada tahun 2020, Kementerian ATR/BPN telah memberlakukan empat layanan elektronik yang meliputi Hak Tanggungan Elektronik, Pengecekan Sertipikat, Zona Nilai Tanah dan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah.

Empat layanan digital pertanahan ini diklaim dapat meminimalisasi sengketa tanah, mencegah praktik mafia tanah, tumpang tindih sertifikat tanah, serta memotong jalur birokrasi.

"Saat ini, dengan layanan elektronik Pak (Jokowi), sekitar 40 persen antrean di kantor BPN jadi berkurang," lanjut Sofyan.

Untuk mendukung upaya digitalisasi layanan pertanahan, Sofyan akhirnya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.

Dalam Pasal 16 ayat 1 Permen ATR Nomor 1 Tahun 2021 disebutkan bahwa pergantian sertifikat menjadi sertifikat-el termasuk meliputi penggantian buku tanah, surat ukur bahkan gambar denah satuan rumah susun menjadi dokumen elektronik.

"Kepala Kantor Pertanahan (Kantah) menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada kantor pertanahan," seperti dikutip dalam pasal 16 ayat 3 beleid tersebut.

Permen tentang Sertifikat Elektronik ini memuat sebanyak VII Bab pembahasan dan berisi 22 pasal.

Beberapa bab tersebut meliputi pelaksanaan sistem elektronik pendaftaran tanah, penerbitan sertifikat elektronik untuk pertama kali, pemeliharaan pendaftaran tanah, edisi sertifikat elektronik, hingga ketentuan peralihan sertifikat tanah elektronik.

Selain itu, terdapat juga contoh bentuk gambar sertifikat tanah elektronik yang akan diterbitkan.

Beleid tentang Sertifikat Elektronik ini sejatinya telah resmi berlaku sejak diundangkan pada tanggal 12 Januari 2021 di Jakarta.

Sejumlah manfaat sertifikat tanah elektronik

Digitalisasi sertifikat ini diklaim memiliki sejumlah manfaat, sebagaimana dikatakan Direktur Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Direktorat Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Dwi Purnama.

Pertama, penerapan sertifikat tanah elektronik saat ini sangat dibutuhkan terutama untuk melakukan efisiensi pendaftaran tanah di Indonesia.

Efisiensi ini dapat dilakukan baik pada simpul input, proses, maupun output proses pendaftaran sertifikasi tanah.

Kedua, sertifikat elektronik juga memungkinkan untuk mempercepat target pendaftaran tanah di Indonesia.

"Sekaligus dapat menaikkan nilai registering property dalam rangka memperbaiki peringkat Ease of Doing Business (EoDB)," kata Dwi, Kamis (04/02/2021).

Ketiga, sertifikat elektronik lebih dapat memberi kepastian dan perlindungan hukum, serta mengurangi jumlah sengketa, konflik, dan perkara pengadilan mengenai pertanahan.

Meski telah resmi berlaku, Dwi mengatakan penerapan sertifikat elektronik akan diberlakukan secara bertahap.

Untuk tahap pertama, merupakan uji coba yang akan diprioritaskan untuk tanah-tanah milik pemerintah. Menyusul kemudian diberlakukan untuk masyarakat secara luas.

"Untuk tahap pertama diprioritaskan pada instansi pemerintah. Tujuannya agar instansi pemerintah dapat lebih mudah menyimpan data elektronik," kata Dwi.

Dwi menjelaskan setelah instansi pemerintah, digitalisasi sertifikat tanah tahap berikutnya akan dilaksanakan oleh badan hukum karena peralatan dan pemahaman elektronik yang dinilai lebih siap.

Terakhir, penerapan sertifikat elektronik ini kemudian akan diberlakukan serentak untuk seluruh masyarakat di Indonesia.

Pekerjaan Rumah Besar Pertanahan 

Meski menawarkan sejumlah manfaat, namun penerapan sertifikat elektronik ini dilakukan saat pendaftaran tanah di Indonesia belum tuntas.

Bahkan, menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT) Suyus Windayana, dari total 126 juta bidang tanah yang ada di Indonesia, baru sebanyak 82 juta bidang telah didaftarkan hingga tahun 2020.

"Ada sebanyak 82 juta tanah telah terdaftar hingga tahun 2020, dari total tanah yang ada di Indonesia yaitu 126 juta bidang tanah. Artinya tanah yang belum didaftar itu ada 35 persen," kata Suyus, Kamis (10/12/2020).

Karena catatan pendaftaran tanah yang belum tuntas inilah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengkritisi digitalisasi sertifikat tanah.

Menurutnya, sertfikat elektronik bukan prioritas. Kementerian ATR/BPN seharusnya berkonsentrasi pada penggunaan dana APBN untuk usaha-usaha pendaftaran seluruh tanah di Indonesia, baik tanah kawasan hutan maupun tanah non-kawasan hutan.

Selain pendaftaran tanah, Dewi juga menyoroti pekerjaan rumah besar lainnya yang belum tuntas yakni penyelesaian konflik dan sengketa pertanahan.

Dewi mengungkapkan, hingga akhir 2020, terdapat total 241 kasus konflik pertanahan yang terjadi di 359 daerah dengan korban terdampak sebanyak 135.332 kepala keluarga (KK).

Adapun total luas tanah yang terdampak konflik agraria seluas 624.272 hektar.

Konflik agraria tertinggi terjadi pada sektor perkebunan yaitu sebanyak 122 kasus. Jumlah ini naik 28 persen dibandingkan pada 2019 yaitu sebanyak 87 kasus.

Selanjutnya tertinggi kedua konflik agraria terjadi pada sektor kehutanan yaitu sebanyak 41 kasus. Angka ini bahkan meroket 100 persen dari 2019 yang berjumlah sebanyak 20 kasus.

Konflik agraria lainnya terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 30 kasus, properti 20 kasus, pertambangan 12 kasus, fasilitas militer 11 kasus, pesisir kelautan 3 kasus dan agribisnis 2 kasus.

Dia menyebut mestinya di tengah krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 ini jumlah kasus konflik agraria menurun drastis.

https://www.kompas.com/properti/read/2021/02/05/131151621/sertifikat-elektronik-dan-konflik-pertanahan-yang-belum-tuntas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke