Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pengamat Nilai Gibran Tak Paham Substansi Masalah Kemacetan Solo

Keduanya memaparkan program-program dalam mengatasi masalah perkotaan Solo, termasuk kemacetan lalu lintas dan pencemaran udara.

Untuk mengatasi kemacetan, Gibran menawarkan solusi pengelolaan kemacetan dengan membangun elevated rail (rel layang) dan flyover di beberapa lokasi yang kerap menjadi simpul kemacetan seperti di Kottabarat.

Sementara untuk menekan pencemaran udara, Gibran akan mendorong warga Solo memaksimalkan menggunakan transportasi umum dibanding kendaraan pribadi.

Termasuk mengadakan program bike sharing atau penyediaan fasilitas sepeda gratis seperti yang telah dilakukan di Provinsi DKI Jakarta.

Menanggapi hal itu, Pengamat Transportasi dari Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno mengatakan solusi yang ditawarkan Gibran untuk masalah kemacetan dan pencemaran udara justru saling bertentangan.

Bahkan dia menilai Gibran tak paham substansi masalahnya.

"Dua hal di atas bertentangan, bisa jadi dia belum paham subtansinya," kata Djoko kepada Kompas.com, Minggu (08/11/2020).

Djoko menjelaskan permasalahan utama di Kota Solo memang kemacetan, tetapi flyover bukanlah menjadi solusi utama.

Menurutnya flyover mungkin bisa mengurangi kemacetan, tetapi tentu saja malah tidak menekan pencemaran udara karena akan menarik semakin banyak warga yang menggunakan kendaraan pribadi.

Saat ini, baru ada dua flyover yang dibangun yaitu di Manahan dan Purwosari. Sehingga tersisa sebanyak empat titik lagi yang masih macet dan belum dibangun flyover.

"Jadi buat flyover yang sudah terlanjur dibangun tidak ramah pesepeda dan pejalan kaki. Karena flyover-nya juga becak nggak bisa lewat, pejalan kaki nggak bisa lewat, yang bisa itu hanya kendaraan bermotor," papar Djoko.

Simpul kemacetan lainnya di Kota Solo adalah perlintasan sebidang yaitu Pasar Nongko atau Jalan RM Said, Balapan atau Jalan Letjend S Parman, dan Ledoksari atau Jalan jenderal Urip Sumohardjo.

"Nah di perlintasan sebidang ini yang biasa dibangun underpass atau flyover dan elevated rail untuk mengurai kemacetan," ujarnya.

Meski demikian, Djoko menuturkan bahwa Gibran tak punya pilihan lain selain membangun flyover. Karenanya, dia meminta agar Gibran lebih serius.

Bukan hanya mendorong tetapi juga mewajibkan warganya untuk menggunakan transportasi umum. Hal itu penting agar upaya penekanan pencemaran udara juga dapat dilakukan secara beriringan.

"Ya sekarang mewajibkan warganya aja naik angkutan umum," ujar dia.

Dua Tahun Lagi Bisa Ikut STA

Secara keseluruhan, Kota Solo sudah melakukan pembenahan transportasi umum. Kota ini juga mendapat bantuan dari Direktorat Jenderal Hubungan Darat, Kementerian Perhubungan.

Tahun ini, terdapat satu jalur sepeda, empat koridor utama dan delapan feeder yang mendapat bantuan operasional dari Kementerian Perhubungan.

Untuk diketahui, Kota Solo memiliki jalur lambat paling panjang di Indonesia yakni 30 kilometer. Jika ini diseriusi, dalam dua atau tiga tahun ke depan Solo bisa ikut ajang Sustainable Transportation Awards (STA).

Selain Jakarta, Kota Solo berpotensi diusulkan mengikuti STA pada masa datang, asal benar-benar serius menata transportasi ramah lingkungan.

"Tapi, untuk sampai pada taraf itu, Pemerintah Kota Solo harus membuat landasan regulasi untuk mengintegrasikan sistem ransportasi," imbuh Djoko.

Jadi, menurutnya, alih-alih membangun flyover, Gibran disarankan untuk membenahi sistem trasnportasi umum agar terintegrasi dan dapat mendorong warga Solo beralih dari kendaraan pribadi.

"Pelajar juga diajak untuk membiasakan diri dengan menggunakan sepeda ke sekolah yang dekat rumahnya, setelah jalur sepeda dibenahi," kata Djoko.

https://www.kompas.com/properti/read/2020/11/08/183105921/pengamat-nilai-gibran-tak-paham-substansi-masalah-kemacetan-solo

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke