Upaya hukum yang dia lakukan di berbagai negara selama ini, dimaksudkan untuk pengakuan terhadap keberadaan spesies baru yang ia ciptakan.
Berbagai gugatan itu, targetnya adalah lahirnya preseden baru. Telah ada spesies baru di muka bumi ini, yang bernama DABUS. Spesies yang mampu berpikir mandiri seperti layaknya manusia.
Upaya inventor dan peneliti AI yang berbasis di Missouri AS ini, telah ditolak di Australia, Uni Eropa, Amerika Serikat, Selandia Baru dan terakhir juga ditolak Mahkamah Agung Inggris.
Hal ini sudah saya tulis juga di Kompas.com dengan judul "Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia?"
Mahkamah Agung Inggris tampaknya sangat berhati-hati. Mahkamah mengantisipasi dengan cermat gugatan yang menghebohkan ini. MA Inggris sampai menurunkan lima orang Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus perkara itu.
Banyak yang memperkirakan, jika pengadilan sampai memutus bahwa AI sebagai penemu paten, atau sebagai pencipta atas obyek hak cipta, dengan latar dan motivasi gugatan penggugat, maka hal ini akan menjadi preseden.
Preseden ini sekaligus dapat dimaknai peneguhan AI (GenAI) sebagai subyek kekayaan intelektual, dan sekaligus bentuk pengakuan status hukum AI sebagai makhluk hidup.
Kasus seperti ini juga tampak memiliki korelasi dengan kontroversi selama ini menyangkut AI dan pelindungan hak cipta.
Jika AI diakui sebagai inventor paten, atau pencipta, maka akan berdampak pada perubahan status AI dari yang semula obyek hukum menjadi subyek hukum. Status ini akan berdampak pada sistem kekayaan intelektual.
Saat ini para penulis dan pencipta, juga banyak yang menuntut perusahaan AI. Musababnya adalah, karena mereka telah melatih sistem AI dalam membuat konten, termasuk membuat puisi, lirik lagu, melodi atau irama atas permintaan pengguna.
Ada kalangan yang mempersoalkan bahwa telah terjadi penggunaan materi berhak cipta tanpa izin. Meskipun hal ini juga menjadi perdebatan.
Pendapat lain menyatakan, AI generatif bukanlah mesin pencari (search engine) yang hanya menyuguhkan konten eksisting berhak cipta milik orang lain kepada penggunanya tanpa izin pencipta.
Pendapat itu menyatakan, Chatbot berkekuatan AI justru menciptakan konten baru, dengan narasi dan bahasa baru berdasarkan kecerdasannya dengan menggunakan antara lain Large language models (LLM).
Pendapat itu menyatakan, menjadikan berbagai karya terdahulu sebagai referensi, adalah hal lumrah dalam kegiatan akademis dan penelitian.
Namun tentu harus tetap berpegang teguh pada etika penelitian dan etika akademis dan prinsip penggunaan wajar (fair use) dalam rezim hak cipta dengan menyebutkan sumbernya secara jujur.