Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kontroversi AI Spesies Baru Mahluk Hidup dan Putusan Pengadilan

Sementara ini, banyak yang melihat landmark decision itu seolah hanya melulu terkait penolakan status hukum AI sebagai penemu atau inventor paten.

Dengan mengkaji latar dan motivasi gugatan yang dilakukan penggugat di berbagai negara, kita bisa melihat bahwa putusan tingkat kasasi ini, tidak sebatas urusan subyek paten dan lingkup kekayaan intelektual.

Putusan-putusan di pengadilan berbagai negara itu, tampak lebih jauh menunjukan sikap tidak mengakui AI sebagai makhluk hidup (sentient).

Tulisan ini saya buat sebagai bahan kajian Cyber Law di Pusat Studi Cyberlaw dan Transformasi Digital Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.

Materi ini saya bagikan kepada pembaca Kompas.com sebagai perwujudan Merdeka Belajar kampus merdeka.

Mahkamah Agung Inggris

Dalam putusan [2023] UKSC 49, Mahkamah Agung Inggris (UK Supreme Court) membuat putusan yang intinya tidak mengakui AI sebagai penemu paten.

Mahkamah merujuk pada pasal 7(2) dan pasal 7(3) UU Paten Inggris (UK Patents Act 1977). UU ini mengatur secara lengkap siapa yang berhak atas pemberian paten.

Saya mempelajari legislasi ini melalui laman resmi Pemerintah Inggris, Legislation.gov.uk.

Menurut ketentuan itu, Penemu haruslah orang perseorangan, dan orang lain, yang mengajukan klaim berdasarkan penemuannya, agar paten dapat diberikan kepadanya. Penekanannya adalah individu manusia.

Pasal lain yang menegaskan bahwa penemu haruslah orang perseorangan, juga terdapat pada pasal 13 UK Patent Act. Norma ini intinya tidak membuka kemungkinan penemu selain individu, atau hanya mesin. Dengan demikian, norma yang relevan adalah pasal 7(2), (3) jo. pasal 13 UK Paten Act.

Di balik gugatan itu ada hal menarik. Seperti ditulis Will Bedingfield, seorang penulis Teknologi di media Wired 31/8/2023, bertajuk “The Inventor Behind a Rush of AI Copyright Suits Is Trying to Show His Bot Is Sentient”.

Will Bedingfield menulis, Dr. Stephen Thaller, sang penemu AI itu tengah berupaya membuktikan bahwa bot-nya adalah makhluk Hidup.

Menurut dia, Thaler sendiri mengatakan bahwa kasusnya bukan tentang kekayaan intelektual, tetapi tentang kepribadian (personhood).

Dr. Thaller percaya, sistem AI yang dia temukan dan diberi nama “Device for the Autonomous Bootstrapping of Unified Sentience (DABUS)”, adalah makhluk hidup.

Upaya hukum yang dia lakukan di berbagai negara selama ini, dimaksudkan untuk pengakuan terhadap keberadaan spesies baru yang ia ciptakan.

Berbagai gugatan itu, targetnya adalah lahirnya preseden baru. Telah ada spesies baru di muka bumi ini, yang bernama DABUS. Spesies yang mampu berpikir mandiri seperti layaknya manusia.

Upaya inventor dan peneliti AI yang berbasis di Missouri AS ini, telah ditolak di Australia, Uni Eropa, Amerika Serikat, Selandia Baru dan terakhir juga ditolak Mahkamah Agung Inggris.

Hal ini sudah saya tulis juga di Kompas.com dengan judul "Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia?"

Kontroversi

Mahkamah Agung Inggris tampaknya sangat berhati-hati. Mahkamah mengantisipasi dengan cermat gugatan yang menghebohkan ini. MA Inggris sampai menurunkan lima orang Hakim Agung untuk memeriksa dan memutus perkara itu.

Banyak yang memperkirakan, jika pengadilan sampai memutus bahwa AI sebagai penemu paten, atau sebagai pencipta atas obyek hak cipta, dengan latar dan motivasi gugatan penggugat, maka hal ini akan menjadi preseden.

Preseden ini sekaligus dapat dimaknai peneguhan AI (GenAI) sebagai subyek kekayaan intelektual, dan sekaligus bentuk pengakuan status hukum AI sebagai makhluk hidup.

Kasus seperti ini juga tampak memiliki korelasi dengan kontroversi selama ini menyangkut AI dan pelindungan hak cipta.

Jika AI diakui sebagai inventor paten, atau pencipta, maka akan berdampak pada perubahan status AI dari yang semula obyek hukum menjadi subyek hukum. Status ini akan berdampak pada sistem kekayaan intelektual.

Saat ini para penulis dan pencipta, juga banyak yang menuntut perusahaan AI. Musababnya adalah, karena mereka telah melatih sistem AI dalam membuat konten, termasuk membuat puisi, lirik lagu, melodi atau irama atas permintaan pengguna.

Ada kalangan yang mempersoalkan bahwa telah terjadi penggunaan materi berhak cipta tanpa izin. Meskipun hal ini juga menjadi perdebatan.

Pendapat lain menyatakan, AI generatif bukanlah mesin pencari (search engine) yang hanya menyuguhkan konten eksisting berhak cipta milik orang lain kepada penggunanya tanpa izin pencipta.

Pendapat itu menyatakan, Chatbot berkekuatan AI justru menciptakan konten baru, dengan narasi dan bahasa baru berdasarkan kecerdasannya dengan menggunakan antara lain Large language models (LLM).

Pendapat itu menyatakan, menjadikan berbagai karya terdahulu sebagai referensi, adalah hal lumrah dalam kegiatan akademis dan penelitian.

Namun tentu harus tetap berpegang teguh pada etika penelitian dan etika akademis dan prinsip penggunaan wajar (fair use) dalam rezim hak cipta dengan menyebutkan sumbernya secara jujur.

Di sinilah kemungkinan adanya perbedaan cukup prinsipil. Jika selama ini para peneliti dan akademisi memegang teguh etika, antara lain menyebutkan sumbernya, meskipun tak diminta.

Lalu bagaimana dengan AI?

Dalam beberapa kali uji coba, Chatbot AI tidak melakukan itu. Chatbot memang bisa saja menunjukan sumber referensi, tetapi biasanya jika hal itu ditanyakan secara detail oleh pengguna. Realitas ini seyogyanya menjadi perhatian para pengembang AI generatif (GenAI).

Motivasi

Kembali ke kasus DABUS, Will Bedingfield dalam laporannya menyebut terdapat perbedaan antara Dr. Thaler dan Tim hukumnya terkait motivasi.

Profesor Ryan Abbott, ahli hukum dan kesehatan di Universitas Surrey di Inggris, berpendapat bahwa penemuan mesin harus dilindungi untuk memberikan insentif kepada orang-orang agar menggunakan AI demi kebaikan sosial.

Guru besar hukum itu menyatakan, tidak menjadi masalah, apakah perusahaan obat meminta sekelompok ilmuwan atau sekelompok super komputer untuk memformulasikan vaksin patogen baru. Ia menyatakan bahwa hasilnya tetap harus dapat dipatenkan.

About menyatakan, pada prinsipnya manusia bisa menggunakan AI untuk menciptakan penemuan bermanfaat. Undang-undang paten yang lama, tidak mampu menghadapi perubahan definisi kecerdasan.

Menurut About, Di AS, penemu didefinisikan sebagai individu, dan kami berpendapat bahwa tidak ada alasan, (bahwa itu) terbatas pada manusia biasa. Apa yang berlaku pada paten juga harus berlaku pada hak cipta.

Ia mencontohkan, saat AI diminta untuk menulis lagu pop dan menjadi lagu terbaik, maka hal itu akan menghasilkan kekayaan intelektual yang sangat berharga. Singkatnya, rezim hak cipta dan paten harus mendorong karya cipta, bukan membatasinya.

Intinya About menyatakan, hak atas kekayaan intelektual harus diberikan tanpa memandang bagaimana sesuatu itu dibuat. Termasuk (jika) tanpa adanya unsur manusia sebagai penemu atau penciptanya.

Masa Depan

Berkaca dari berbagai putusan dan sikap Mahkamah Agung di berbagai negara, hal ini tentu harus diantisipasi secara sungguh-sungguh oleh Indonesia.

Berbagai putusan yang ada itu tampak menempatkan AI sebatas obyek hukum. Dengan kata lain tidak membuka kemungkinan status AI sebagai subyek hukum, atau menobatkannya sebagai makhluk hidup, dan spesies baru.

Penasaran dengan hal ini, saya bertanya langsung kepada GenAI, yaitu Chatbot AI besutan OpenAI, ChatGPT. Dengan pertanyaan: Apakah kamu itu AI. Dan apakah AI itu spesies baru sebagai makhluk hidup?

ChatGPT secara lugas menjawab yang intinya: “Saya adalah model bahasa buatan yang dikembangkan oleh OpenAI, dan saya bukan spesies baru atau makhluk hidup. Saya hanya program komputer yang dirancang untuk memahami dan menghasilkan teks dalam berbagai konteks."

Super Aps situ melanjutkan “Artificial Intelligence (AI) sendiri bukanlah spesies baru, atau makhluk hidup. AI merujuk pada kemampuan sistem komputer untuk mengeksekusi tugas-tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia.”

“Meskipun AI dapat memiliki kemampuan untuk memproses informasi, dan mengeksekusi tugas tertentu dengan tingkat kecerdasan buatan, mereka tidak memiliki kehidupan, kesadaran, atau kemampuan untuk bereproduksi seperti makhluk hidup. AI adalah produk teknologi yang dikembangkan oleh manusia untuk memfasilitasi berbagai aktivitas dan tugas,” tutup platform chatbot itu.

Jawaban AI ini sejalan dengan sikap dan pendirian pengadilan di beberapa negara. Yurisprudensi menunjukan, AI bukanlah subyek hukum layaknya manusia.

Kesimpulannya, AI hanyalah sebatas obyek hukum berupa sistem dan platform kecerdasan artifisial buatan manusia, yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2023/12/27/071155080/kontroversi-ai-spesies-baru-mahluk-hidup-dan-putusan-pengadilan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke