Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Adapun pengertian bukti informasi elektronik/dokumen elektronik sudah diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang terdapat pada pasal 1 angka 1 dan 4, yaitu:
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
Jika melihat pengertian informasi elektronik/dokumen elektronik dapat kita pahami pentingnya bukti dari CCTV di lokasi terjadinya pelecehan seksual non-fisik dan bukti rekaman/foto dari korban saat terjadinya kekerasan seksual non-fisik tersebut. Hal itu adalah salah satu bukti yang diatur dalam UU TPKS.
Sejak diberlakukannya UU TPKS perempuan Indonesia bisa melaporkan tindakan kekerasan seksual non-fisik yang dialaminya ke pihak Kepolisian.
Laporan Kepolisian tersebut saat ini hanya dapat dilaporkan ke polisi setingkat Polres/Polda. Pasalnya, unit yang menangani laporan UU TPKS hanya terdapat di tingkat Polres/Polda, yaitu Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA).
Laporan atas kekerasan seksual non-fisik hanya untuk peristiwa yang terjadi sejak UU TPKS diberlakukan. Peristiwa sebelum UU tersebut disahkan tidak dapat dilaporkan.
Perlu diperhatikan, jangan sampai laporan kepolisian terkait kekerasan seksual non-fisik tersebut hanya praduga saja dan tidak benar-benar terjadi.
Jika tidak pernah terjadi kekerasan seksual non-fisik, maka si Pelapor dapat dijerat pidana atas laporan palsu sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 220 KUHP lama dan diatur juga pada KUHP baru yang akan berlaku tiga tahun lagi, yaitu UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP.
Pada Pasal 361 berbunyi “Setiap Orang yang melaporkan atau mengadukan kepada Pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu Tindak Pidana, padahal diketahui bahwa Tindak Pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, walaupun faktanya lebih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Semoga dengan diberlakukannya UU TPKS bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik dan kehidupan kita jauh lebih tertib dan lebih baik lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.