Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Aturan Pelecehan Seksual Non-Fisik Menurut UU TPKS

Pelecehan seksual adalah suatu tindak pidana yang sering terjadi di Indonesia. Menurut data Komnas Perempuan selama Januari-November 2022, sedikitnya ada 3.014 laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Data tersebut sudah pasti bukan kekerasan seksual non-fisik karena sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual non-fisik tidak dapat dilaporkan oleh korban.

Tahun 2022 merupakan tahun bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya perempuan karena pengesahan UU yang sudah lama dinantikan oleh perempuan Indonesia, yaitu UU TPKS.

Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) ada 9 jenis tindak pidana pelecehan seksual. Salah satunya adalah pelecehan seksual non-fisik yang diatur pada Pasal 5 UU TPKS berbunyi: “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”

Tujuan dibentuknya undang-undang adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tertib dan mengikuti norma serta melindungi warga.

Di dalam UU TPKS sangat jelas bentuk perlindungan dari pemerintah terhadap perempuan di Indonesia, terlebih memasukan pelecehan seksual non-fisik ke dalam aturan hukum Indonesia.

Kekerasan seksual non-fisik dimasukan ke dalam kategori kekerasan seksual di dalam UU TPKS sesuai dengan harapan organisasi yang selama ini melindungi perempuan Indonesia.

Sebelum ada UU TPKS, bentuk kekerasan seksual yang belum diatur dalam aturan hukum di Indonesia adalah kekerasan seksual non-fisik.

Karena perbuatan tersebut bukan tindak pidana dan tidak bisa dilaporkan ke kepolisian, sehingga kejadian terus berulang.

Penjelasan Pasal 5 UU TPKS dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.”

Mengacu penjelasan tersebut, tentu akan sulit bagi korban untuk membuktikan tindak pidana ketika melaporkan ke pihak kepolisian. Namun, kendala alat bukti tersebut telah diantisipasi lewat aturan Pasal 24 UU TPKS yang berbunyi:

(1) Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas:

  1. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana;
  2. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  3. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

(2) Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

(3) Termasuk alat bukti surat, yaitu:

  1. surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
  2. rekam medis;
  3. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
  4. hasil pemeriksaan rekening bank.

Adapun pengertian bukti informasi elektronik/dokumen elektronik sudah diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang terdapat pada pasal 1 angka 1 dan 4, yaitu:

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Jika melihat pengertian informasi elektronik/dokumen elektronik dapat kita pahami pentingnya bukti dari CCTV di lokasi terjadinya pelecehan seksual non-fisik dan bukti rekaman/foto dari korban saat terjadinya kekerasan seksual non-fisik tersebut. Hal itu adalah salah satu bukti yang diatur dalam UU TPKS.

Sejak diberlakukannya UU TPKS perempuan Indonesia bisa melaporkan tindakan kekerasan seksual non-fisik yang dialaminya ke pihak Kepolisian.

Laporan Kepolisian tersebut saat ini hanya dapat dilaporkan ke polisi setingkat Polres/Polda. Pasalnya, unit yang menangani laporan UU TPKS hanya terdapat di tingkat Polres/Polda, yaitu Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA).

Laporan atas kekerasan seksual non-fisik hanya untuk peristiwa yang terjadi sejak UU TPKS diberlakukan. Peristiwa sebelum UU tersebut disahkan tidak dapat dilaporkan.

Perlu diperhatikan, jangan sampai laporan kepolisian terkait kekerasan seksual non-fisik tersebut hanya praduga saja dan tidak benar-benar terjadi.

Jika tidak pernah terjadi kekerasan seksual non-fisik, maka si Pelapor dapat dijerat pidana atas laporan palsu sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 220 KUHP lama dan diatur juga pada KUHP baru yang akan berlaku tiga tahun lagi, yaitu UU No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP.

Pada Pasal 361 berbunyi “Setiap Orang yang melaporkan atau mengadukan kepada Pejabat yang berwenang bahwa telah terjadi suatu Tindak Pidana, padahal diketahui bahwa Tindak Pidana tersebut tidak terjadi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan, walaupun faktanya lebih banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Semoga dengan diberlakukannya UU TPKS bangsa Indonesia bisa menjadi lebih baik dan kehidupan kita jauh lebih tertib dan lebih baik lagi.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2023/01/12/060000380/aturan-pelecehan-seksual-non-fisik-menurut-uu-tpks

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke