Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Justika
Platform Konsultasi Hukum

Justika adalah platform konsultasi hukum via online dengan puluhan konsultan hukum profesional dan berpengalaman.

Per-Oktober 2021, lebih dari 19.000 masalah hukum di berbagai bidang hukum telah dikonsultasikan bersama Justika.

Justika memudahkan pengguna agar dapat menanyakan masalah hukum melalui fitur chat kapan pun dan di mana pun.

Justika tidak hanya melayani konsultasi hukum, namun di semua fase kebutuhan layanan hukum, mulai dari pembuatan dokumen hingga pendampingan hukum.

Untuk informasi selengkapnya, kunjungi situs justika di www.justika.com atau tanya Admin Justika melalui email halo@justika.info atau Whatsapp di 0821 3000 7093.

Apakah Polisi Boleh Menolak Laporan Dugaan Tindak Pidana?

Kompas.com - 13/04/2022, 06:00 WIB
Justika,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

Konsultasi Hukum

Kupas tuntas dan jelas perkara hukum

Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com

Oleh: Yogi Zul Fadhli, S.H., M.H.

Setiap orang yang melihat, mendengar, mengetahui terjadinya suatu tindak pidana berhak melapor ke Polisi. Namun kenyataan di lapangan ada laporan yang ditolak oleh Polisi dengan berbagai alasan.

Seperti penolakan laporan Haris Azhar mengenai dugaan gratifikasi, penolakan laporan Juragan99 mengenai dugaan penipuan dan merek dagang, maupun cerita masyarakat yang melapor tetapi tidak digubris oleh Polisi.

Apakah secara hukum Polisi berhak untuk menolak laporan dari masyarakat? Apa ada alasan-alasan tertentu yang membolehkan penolakan tersebut?

Apa ada sanksi apabila Polisi menolak? Langkah apa yang bisa dilakukan jika laporan ditolak Polisi?

Rabu, 23 Maret 2022, sejumlah organisasi masyarakat sipil melaporkan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) ke kantor Polda Metro Jaya, Jakarta.

Menteri Kemaritiman dan Investasi ini, bersama sejumlah orang dan entitas korporasi dituduh melakukan tindak pidana gratifikasi terkait bisnis pertambangan di Papua.

Bukti hasil riset yang menunjukkan keterlibatan LBP baik secara langsung maupun tidak, siap dibawa dan diserahkan.

Namun tak disangka, laporan ditolak. Polisi berdalih, tindak pidana korupsi tidak bisa dilaporkan.

Katanya, dugaan tindak pidana korupsi mesti disampaikan melalui pengaduan atau laporan informasi, bukan dalam laporan polisi atau LP. Alasan polisi betul-betul janggal. Sikap ini tentu melanggar hukum.

Sehubungan dengan itu, pertama-tama, kita perlu menilik lagi konsiderasi terbitnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Inti dari konsiderasi itu, yakni negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warga negara sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.

Berangkat dari pertimbangan ini, KUHAP sebenarnya adalah pengejawantahan dari prinsip-prinsip negara hukum yang terdiri dari: a) supremasi hukum; b) persamaan di depan hukum; dan c) jaminan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.

Pertimbangan yang melandasi lahirnya KUHAP yang mengandung prinsip-prinsip negara hukum kemudian meresap ke dalam pasal per pasalnya, yang substansinya antara lain tentang mekanisme laporan dan pengaduan.

Laporan dimaknai sebagai pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 ayat (24) KUHAP).

Sedangkan pengaduan ialah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 ayat (25) KUHAP).

Walaupun pengertiannya berbeda, pada prinsipnya laporan dan pengaduan merupakan salah satu sistem yang disediakan untuk melindungi hak asasi manusia.

Polisi dilarang menolak laporan/pengaduan

Penting digarisbawahi, laporan tidak harus ditempuh oleh orang yang menjadi korban. Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun tertulis (Pasal 108 ayat (1) KUHAP).

Pada dasarnya, laporan atau pengaduan merupakan salah satu upaya agar hak atas rasa adil bisa diperoleh.

Dalam hubungan ini, termuat ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin, “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

Bertolak dari hal tersebut, karena laporan sifatnya hak, maka negara yang direpresentasikan oleh para aparaturnya (termasuk polisi) senantiasa didudukan sebagai pemangku kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga.

Sebab itu, KUHAP lantas memberikan kewenangan kepada polisi (penyelidik dan penyidik) karena kewajibannya untuk menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana (Pasal 5 huruf a ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1) huruf a).

Bahkan, penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan (Pasal 102 ayat (1) KUHAP).

Kewajiban serupa juga dilekatkan kepada penyidik. Ketika penyidik mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP).

Di samping itu, Polri sudah memiliki Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 14 huruf a aturan ini tegas menyatakan, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik dilarang: mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor atau pihak lain yang terkait dalam perkara, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 kian menguatkan, setiap anggota Polri dilarang menolak atau mengabaikan permintaan pertolongan, bantuan atau laporan dan pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.

Tambahan lagi, tugas dan fungsi kepolisian juga masuk dalam lingkup pelayanan publik. Polisi wajib tunduk pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Nomor 25 tahun 2009).

Penting ditekankan, konsiderasi dikeluarkannya beleid ini adalah negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945.

Realisasi dari pertimbangan itu, diaturlah kaedah mengenai hak dan kewajiban penyelenggara pelayanan publik dan masyarakat.

Masyarakat berhak mendapat tanggapan pengaduan yang diajukan (Pasal 19 huruf c) dan mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan (Pasal 19 huruf i).

Sementara penyelenggara (polisi) berkewajiban memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 15 huruf e), melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan (Pasal 15 huruf f) serta berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

Sungguh pun begitu, ternyata di dalam kepolisian ada Perkapolri Nomor 6 tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, dalam Pasal 3 huruf b mengatur, pada SPKT/SPK yang menerima laporan/pengaduan, ditempatkan penyidik/penyidik pembantu yang ditugasi untuk: melakukan kajian awal guna menilai layak/tidaknya dibuatkan laporan polisi.

Pengertiannya, hasil kajian awal tidak hanya akan menentukan layak dibuatkan laporan polisi, namun juga sebaliknya, hasil kajian awal sanggup membikin laporan polisi tidak dibuat oleh penyidik/penyidik pembantu.

Kendati demikian, yang mesti dititikberatkan, pertama harus ada kajian terlebih dahulu. Kedua, ketika diputuskan laporan polisi tidak dibuatkan, keputusan itu harus mengantongi alasan yang sah menurut hukum.

Tidak boleh menyimpang dari prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Sebab setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan.

Artinya, ketentuan yang diketengahkan di dalam KUHAP, Perkapolri Nomor 14 tahun 2011 dan UU Nomor 25 tahun 2009 di atas gamblang, tatkala memperoleh laporan atau pengaduan dari masyarakat, apalagi laporan atau pengaduannya bisa dipertanggungjawabkan, tidak mengada-ada dan tentu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, pada hakikatnya polisi tidak boleh menolak atau mengabaikannya.

Andai laporan ditolak, sama saja polisi melakukan pelanggaran hukum acara sekaligus pelanggaran kode etik profesi, lebih-lebih pelanggaran terhadap hak asasi manusia, yaitu hak atas rasa adil.

Sanksi bagi polisi yang menolak/mengabaikan laporan/pengaduan

Sanksi terhadap pelanggaran kode etik tertera di Perkapolri Nomor 14 tahun 2011. Pasal 20 ayat (1) mengatur, anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan/atau larangan sebagaimana dimaksud Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 dinyatakan sebagai terduga pelanggar.

Terduga pelanggar ini dinyatakan sebagai pelanggar setelah dilakukan pemeriksaan dan mendapatkan putusan melalui sidang KKEP. (Pasal 20 ayat (2)).

Selanjutnya, ketika anggota Polri sudah dinyatakan sebagai pelanggar, dikenakan sanksi pelanggaran KEPP berupa (Pasal 21 ayat (1)):

  1. perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
  2. kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan sidang KKEP dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan;
  3. kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi sekurang-kurangnya satu minggu dan paling lama satu bulan;
  4. dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun;
  5. dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun.
  6. dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun; dan/atau
  7. PTDH sebagai anggota Polri.

Penjatuhan sanksi tentunya dengan mekanisme penegakan KEPP, yang bila mengacu Pasal 17 Perkapolri Nomor 14 tahun 2011 dilaksanakan melalui:

  1. pemeriksaan pendahuluan;
  2. sidang KKEP;
  3. sidang komisi banding;
  4. penetapan administrasi penjatuhan hukuman;
  5. pengawasan pelaksanaan putusan; dan
  6. rehabilitasi personel.

Kemana warga melapor ketika laporan/pengaduannya ditolak oleh polisi?

Sebetulnya ada sejumlah mekanisme komplain yang bisa digunakan manakala laporan/pengaduan masyarakat ditolak atau diabaikan oleh polisi.

Dari sisi internal, kepolisian mempunyai divisi bernama Propam Polri bidang pertanggungjawaban profesi. Dalam kerangka penegakan KEPP, Propam berwenang melakukan pemeriksaan pendahuluan dengan cara audit investigasi, pemeriksaan dan pemberkasan.

Jadi, bilamana warga memergoki polisi melanggar hukum, umpamanya menolak atau mengabaikan laporan/pengaduan, laporkan saja anggota polisi itu ke divisi propam.

Sementara dari aspek eksternal, lantaran tugas kepolisian adalah bagian dari layanan publik yang terikat pada UU Nomor 25 tahun 2009, maka sebagaimana Pasal 40 ayat (1), masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara, Ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota.

Dalam konteks pengaduan dilayangkan ke Ombudsman, mengacu Pasal 46 ayat (1), Ombudsman wajib menerima dan berwenang memproses pengaduan dari masyarakat mengenai penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan undang-undang ini.

Bahkan pada ayat (2) dikatakan, Ombudsman wajib menyelesaikan pengaduan masyarakat apabila pengadu menghendaki penyelesaian pengaduan tidak dilakukan oleh penyelenggara.

Selain itu, warga dapat pula membuat pengaduan ke Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Republik Indonesia.

Seperti ditulis di situs web https://kompolnas.go.id/tupoksi, Kompolnas menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian untuk diteruskan kepada presiden.

Keluhan yang diterima Kompolnas adalah pengaduan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang, dugaan korupsi, pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminasi dan penggunaan diskresi kepolisian yang keliru.

Sebagai kesimpulan, polisi dilarang menolak atau mengabaikan laporan/pengaduan dari masyarakat yang menjadi lingkup tugas, fungsi dan kewenangannya.

Apabila ditemukan kasus polisi menampik laporan, jelas itu adalah pelanggaran hukum acara, kode etik profesi dan malahan bisa menjurus pada pelanggaran hak asasi manusia.

Kalau begitu, warga punya hak untuk mengirimkan aduan kepada badan yang punya otoritas, antara lain Propam, Ombudsman dan Kompolnas.

Pendek kata, sanksi harus dijatuhkan terhadap polisi yang melanggar hukum.

Anda punya pertanyaan terkait permasalah hukum? Ajukan pertanyaan Anda di laman ini: Form Konsultasi Hukum

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com