Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Ali Hasan
Advokat

Partner pada Akhmad Zaenuddin & Partners (AZLAW). Sarjana Hukum dari Universitas Diponegoro.
Pernah bekerja di LBH Jakarta dan ADAMS & Co., Counsellors at Law. Advokat terdaftar di PERADI.
Pernah membela klien di berbagai sengketa hukum di antaranya Pidana, Administrasi Negara, Tata Usaha Negara dan Konstitusi.
Hp: 0813-2699-5614
Email: hasanmuhamadali@gmail.com

Apakah Istri Harus Menanggung Hutang Almarhum Suami? Simak Ulasannya

Kompas.com - 20/09/2021, 06:00 WIB
Muhamad Ali Hasan,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

Konsultasi Hukum

Kupas tuntas dan jelas perkara hukum

Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com

Seorang ibu rumah tangga asal Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), terkejut saat mendapat surat dari bank yang isinya memberitahukan agar segera melunasi uang pinjaman sebesar Rp 224 juta.

Utang itu berasal dari almarhum suaminya yang meninggal pada 2018. Padahal selaku istri sah, ia mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penandatanganan akad kredit tersebut.

Apakah seorang istri wajib membayar utang Almarhum suami yang dibuat tanpa persetujuan istri?

Harta bersama dalam perkawinan

Setiap harta benda yang diperoleh istri dan suami selama masa perkawinan menjadi harta bersama.

Kecuali terhadap harta benda yang diperoleh sebelum masa perkawinan (harta bawaan), hadiah atau warisan, sepenuhnya di bawah penguasaan masing-masing suami atau isteri selama para pihak tidak menentukan lain.

Baca juga: Tidak Berhutang Pinjol tapi Ditagih Bayar, Bagaimana Hukumnya?

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan:

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Harta bersama tidak hanya terbatas uang, benda, atau aset lainnya yang diperoleh selama masa perkawinan, melainkan termasuk pada seluruh utang ataupun kerugian yang diperoleh selama masa perkawinan.

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 136 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan:

Pasal 163
“Semua utang kedua suami istri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan, harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas akibat kejahatan salah seorang dan suami istri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu.”

Pengecualian terhadap ketentuan penentuan harta bersama seperti diatur dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak membuat perjanjian perkawinan yang di dalamnya memuat ketentuan yang mengesampingkan ketentuan harta bersama dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan.

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan maupun selama masa perkawinan.

Utang suami tanpa persetujuan istri

Suatu utang dalam masa perkawinan harus dibedakan apakah utang tersebut merupakan utang pribadi atau bersama.

Prof Subekti dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata” secara garis besar membedakan antara utang pribadi suami/istri dengan utang bersama suami dan istri.

Baca juga: Pemilik Rumah Menaikkan Harga Sewa Sepihak, Bagaimana Hukumnya?

Utang pribadi adalah utang yang dibuat oleh suami/istri terkait dengan kepentingan pribadinya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com