Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Apakah Istri Harus Menanggung Hutang Almarhum Suami? Simak Ulasannya

Seorang ibu rumah tangga asal Kelurahan Sikumana, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), terkejut saat mendapat surat dari bank yang isinya memberitahukan agar segera melunasi uang pinjaman sebesar Rp 224 juta.

Utang itu berasal dari almarhum suaminya yang meninggal pada 2018. Padahal selaku istri sah, ia mengaku tidak pernah dilibatkan dalam penandatanganan akad kredit tersebut.

Apakah seorang istri wajib membayar utang Almarhum suami yang dibuat tanpa persetujuan istri?

Harta bersama dalam perkawinan

Setiap harta benda yang diperoleh istri dan suami selama masa perkawinan menjadi harta bersama.

Kecuali terhadap harta benda yang diperoleh sebelum masa perkawinan (harta bawaan), hadiah atau warisan, sepenuhnya di bawah penguasaan masing-masing suami atau isteri selama para pihak tidak menentukan lain.

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan:

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Harta bersama tidak hanya terbatas uang, benda, atau aset lainnya yang diperoleh selama masa perkawinan, melainkan termasuk pada seluruh utang ataupun kerugian yang diperoleh selama masa perkawinan.

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 136 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang menyatakan:

Pasal 163
“Semua utang kedua suami istri itu bersama-sama, yang dibuat selama perkawinan, harus dihitung sebagai kerugian bersama. Apa yang dirampas akibat kejahatan salah seorang dan suami istri itu, tidak termasuk kerugian bersama itu.”

Pengecualian terhadap ketentuan penentuan harta bersama seperti diatur dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan dapat dilakukan apabila para pihak membuat perjanjian perkawinan yang di dalamnya memuat ketentuan yang mengesampingkan ketentuan harta bersama dalam KUHPerdata dan UU Perkawinan.

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tanggal 27 Oktober 2016, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan maupun selama masa perkawinan.

Utang suami tanpa persetujuan istri

Suatu utang dalam masa perkawinan harus dibedakan apakah utang tersebut merupakan utang pribadi atau bersama.

Prof Subekti dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata” secara garis besar membedakan antara utang pribadi suami/istri dengan utang bersama suami dan istri.

Utang pribadi adalah utang yang dibuat oleh suami/istri terkait dengan kepentingan pribadinya.

Contohnya, suami meminjam uang kepada bank untuk memperbaiki rumah pribadi yang merupakan harta bawaannya.

Sedangkan utang bersama adalah utang yang terjadi untuk kepentingan bersama, sebagai contoh untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Utang pribadi oleh suami dapat saja dibuat sendiri tanpa persetujuan bersama dengan istri.

Namun, pertanggungjawaban utang pribadi hanya melekat pada diri pribadi suami tanpa bisa dibebankan kepada harta pribadi istri maupun harta bersama suami dan istri.

Berbeda dengan utang pribadi, utang bersama hanya dapat dilakukan dengan persetujuan suami dan istri.

Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.

Dalam praktik peradilan, setiap tindakan hukum terhadap harta bersama yang dilakukan oleh istri atau suami tanpa persetujuan keduanya, maka tindakan hukum tersebut dapat dinyatakan tidak sah menurut hukum.

Hal ini merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 2691 PK/Pdt/1996 tertanggal 18 September 1998, yang dalam pertimbangannya menyatakan sebagai berikut:

“Karena belum ada persetujuan istri maka tindakan Tergugat I membuat perjanjian tersebut tidak sah menurut hukum.”

Pembatalan perjanjian dan pertanggungjawaban istri

Sebagaimana Yurisprudensi di atas, jika hutang bersama dibuat tanpa persetujuan istri, maka istri dapat meminta kepada Pengadilan untuk membatalkan/menyatakan batal perjanjian tersebut.

Hal yang berlu diperhatikan adalah dengan adanya pembatalan/dinyatakan batalnya suatu perjanjian, maka uang yang telah diberikan pihak bank kepada almarhum suami tetap harus dikembalikan kepada bank.

Apabila perjanjian dinyatakan tidak sah secara hukum, maka konsekuensinya adalah pemulihan keadaan bagi para pihak seperti semula sebelum dibuatnya perjanjian.

Artinya, uang yang telah dikeluarkan bank harus diberikan kembali kepada pihak bank.

Karena suami telah meninggal, maka dalam Hukum Perdata Indonesia kewajiban perdatanya beralih kepada ahli waris.

Seorang istri merupakan salah satu ahli waris sehingga terhadap harta warisan yang ditinggalkan almarhum suami merupakan hak bagi istri.

Hal ini merujuk pada Pasal 832 KUHPerdata yang menyatakan:
"Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau istri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini."

Perlu untuk diketahui, yang termasuk harta waris tidak hanya sebatas pada uang maupun harta benda, melainkan juga terhadap seluruh hutang pewaris.

Hal ini merujuk pada Pasal 1100 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.

Pada dasarnya berdasarkan Pasal 1045 KUHPerdata, penerimaan waris adalah sebuah hak sehingga tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya terlebih apabila ada beban utang yang ditinggalkan oleh Pewaris.

Untuk itu, Ahli Waris diberikan hak untuk menerima secara murni, menerima dengan hak istimewa, menolak, serta mempunyai hak untuk berpikir.

Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1023 KUHPerdata yang menyatakan:

"Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni, ataukah menerima dengan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka; pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu."

Menerima secara murni berarti ahli waris menerima seluruh harta warisan termasuk dengan segala utang pewaris.

Menerima secara istimewa berarti ahli waris itu tidak wajib membayar utang dan beban harta peninggalan itu Iebih daripada jumlah harga barang-barang yang termasuk warisan itu.

Bahkan ia dapat membebaskan diri dari pembayaran itu, dengan menyerahkan semua barang-barang yang termasuk harta peninggalan itu kepada penguasaan para kreditur dan penerima hibah wasiat.

Sedangkan menolak waris diartikan bahwa ahli waris menolak seluruh harta waris termasuk segala utang yang ada.

Sehubungan dengan kasus di atas, pihak istri ataupun pihak ahli waris lainnya sebaiknya terlebih dahulu menggunakan haknya untuk berpikir apakah menerima atau menolak menjadi ahli waris dengan segala konsekuensi hukumnya agar tidak timbul permasalahan hukum yang tidak diinginkan dikemudian hari.

Anda punya pertanyaan terkait permasalah hukum? Ajukan pertanyaan Anda di laman ini: Form Konsultasi Hukum

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/09/20/060000380/apakah-istri-harus-menanggung-hutang-almarhum-suami-simak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke