"Saat itu saya masih usia 8 tahun. Ada tiga kegiatan yang menarik untuk diikuti di desa saya, yakni pencak silat, sepak bola, dan pramuka. Saya akhirnya memilih pencak silat karena paling dekat dengan saya tinggal," katanya.
Mau tak mau, Madeleine harus mengerti beberapa kata dalam bahasa Indonesia.
"Misalnya berhitung satu, dua, tiga, hingga kata hormat, siap atau mulai," katanya.
Perkenalannya dengan bahasa Indonesia sederhana itu terus bercokol dalam kepalanya.
Saat usianya menginjak 22 tahun, Madeleine yang sudah memiliki gaji sendiri, memutuskan melakukan perjalanan ke Indonesia.
"Saya ke Sulawesi, untuk belajar pencak silat dan bahasa Indonesia di sana," katanya.
Saat itulah, Madeleine bertemu dengan laki laki Indonesia, yang akhirnya menjadi suaminya.
"Kalau sudah jatuh cinta, motivasi belajar bahasa Indonesia makin kuat," ungkap dia.
Baca juga: Protes Peningkatan Jumlah Serigala, Peternak Swiss Buang Bangkai Domba
Menikah dan dikaruniahi dua anak, hidup antara Swiss dan Yogjakarta, membuat Madeleine harus bisa komunikasi dengan bahasa Indonesia.
"Saya kan di Yogjakarta harus komunikasi dengan penduduk setempat," katanya.
Pada 2020, suami Madeleine meninggal dunia.
Penggunaan bahasa Indonesia di keluarga ini, selain karena menetap di Zurich dan juga meninggalnya sang suami, berkurang drastis.
Saat KBRI Bern membuka program BIPA, tanpa pikir panjang Madeleine langsung mendaftar.
"Coba bayangkan, saya, ibu dua anak kecil, ingin kembali belajar bahasa Indonesia, ada kursus online dan gratis, maka saya langsung daftar," katanya.
Madeleine juga mengaku inilah pertama kalinya belajar bahasa Indonesia secara formal.