Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Eropa Diminta Kembalikan Artefak-artefak Asia yang "Dijarah"

Kompas.com - 04/02/2024, 21:22 WIB
Irawan Sapto Adhi

Editor

PARIS, KOMPAS.com - Meningkatnya tekanan terhadap museum-museum di Eropa untuk mengembalikan artefak yang diambil dari Asia Tenggara pada masa kolonial dapat memberikan manfaat terhadap citra Eropa, kata para analis.

Selama kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet ke Perancis pada Januari lalu, Presiden Emmanuel Macron menjanjikan dukungan untuk mengembalikan lebih banyak artefak Khmer dan bantuan teknis untuk memperluas Museum Nasional Kamboja.

Macron sering disebut-sebut sebagai pemimpin Eropa pertama yang menyuarakan tuntutan lama dari negara-negara Asia untuk mengembalikan barang antik hasil penjajahan.

Baca juga: Belanda Kembalikan Artefak Era Kolonial ke Sri Lanka

Pada 2017, Macron memberikan pidato yang menyebut dirinya akan "melakukan segala kemungkinan" untuk mengembalikan warisan yang dijarah oleh kolonial Perancis.

Beberapa bulan sebelumnya, Musee Guimet di Paris, museum nasional Perancis untuk seni Asia, setuju untuk mengembalikan kepala dan badan patung Khmer abad ketujuh, yang diambil pada tahun 1880-an, ke Kamboja dengan perjanjian pinjaman selama lima tahun.

Pada 2017, Berlin mengikuti langkah tersebut dan setuju untuk mengembalikan artefak yang diambil selama genosida di awal abad ke-20 ke negara Namibia di Afrika bagian selatan.

Sementara itu pada Juli 2023, dua museum di Belanda, termasuk Rijksmuseum, menyerahkan kembali ratusan artefak ke Indonesia dan Sri Lanka, bekas jajahan Belanda.

Museum mempertimbangkan pengembalian artefak yang dijarah

Pada Januari, pemerintah Jerman dan Perancis sepakat untuk menghabiskan 2,1 juta euro (sekitar Rp 35,8 miliar) untuk meninjau benda-benda warisan Afrika yang ada di koleksi museum nasional mereka, dan ada rumor bahwa mungkin ada skema serupa untuk artefak Asia.

Gelombang baru seruan pengembalian barang antik yang dicuri dimulai pada Desember 2023 ketika Metropolitan Museum of Art di New York akan mengembalikan 14 patung ke Kamboja dan dua patung ke Thailand yang diperoleh dari pedagang seni Inggris Douglas Latchford, yang didakwa dengan perdagangan barang antik yang dijarah pada 2019.

Brad Gordon, penasihat hukum Kementerian Kebudayaan dan Seni Kamboja dan berperan penting dalam pengembalian artefak tersebut tahun lalu, mengatakan ia menjalin kontak dengan museum-museum di Inggris dan Paris mengenai koleksi barang antik Kamboja mereka yang sangat banyak.

Baca juga: 3 Artefak di Australian National University Ternyata Barang Curian dari Italia

Apa dasar hukum pengembalian artefak?

Konvensi UNESCO tahun 1970 tentang Sarana Pelarangan dan Pencegahan Impor, Ekspor, dan Pengalihan Kepemilikan Benda-benda Budaya secara Ilegal merupakan sumber hukum utama ketika suatu negara mengeklaim kepemilikannya dikembalikan.

"Namun, konvensi ini tidak berlaku secara retrospektif sehingga tidak mencakup fase puncak kolonialisme,” menurut pernyataan German Lost Art Foundation, sebuah LSM.

"Terlebih lagi, sejumlah besar negara perlu terlibat dalam perjanjian semacam itu. Sejak abad ke-15, hampir setiap wilayah di dunia telah menjadi bagian dari struktur kolonial, setidaknya untuk jangka waktu tertentu,” tambahnya.

Dengan demikian, kata mereka, benda dan koleksi budaya yang dibawa ke Eropa berasal dari berbagai konteks perolehan yang berbeda, yang masing-masing berpotensi melibatkan bentuk penanganan tertentu.

Akibatnya, beberapa pemerintah Eropa telah mengusulkan undang-undang nasional untuk menentukan nasib artefak di museum mereka.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com