Jika saja Zelensky bersikeras bertahan dengan asumsi tersebut dan menafikan informasi dari CIA, maka kemungkinan besar Ukraina hari ini sudah di bawah kekuasaan presiden boneka buatan Rusia.
Nah, keberhasilan Hamas dalam membangun konstruksi berpikir bahwa intelijen Israel mengasumsikan relasi status quo dengan Hamas di mana serangan dadakan masif tidak mungkin terjadi, justru memberikan Hamas kesempatan untuk mempersiapkan diri secara diam-diam.
Boleh jadi dengan berbagai trik pengelabuan di lapangan bahwa seolah-olah tidak ada gerakan mencurigakan di kubu Hamas, lalu melakukan "surprise attack" dari berbagai sisi.
Kegagalan intelijen Israel, baik dalam hal sensitifitas mengoleksi data lapangan maupun dalam hal analisis geopolitik, membuat di sisi Israel akhirnya tidak saja menelan korban yang cukup banyak, tapi juga serta-merta terjebak ke dalam keserbasalahan geopolitik kawasan di satu sisi.
Israel juga akan mulai diragukan sebagai "perisai militer" untuk aliansi-aliansi Amerika Serikat di Timur Tengah oleh banyak pihak di kawasan Timur Tengah di sisi lain.
Sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak, Israel tentu akan melakukan assessment atas "Intelligence Failure" di satu sisi dan akan melakukan pembalasan militer yang setara di sisi lain.
Israel dipastikan akan menggasak Jalur Gaza, menghancurkan banyak gedung dan bangunan, menyeret banyak manusia dari Gaza untuk ditahan dan diinterogasi, dan seterusnya.
Langkah inilah yang akan membuat Israel terjebak dalam keserbasalahan geopolitik. Menggasak Jalur Gaza akan membuat Israel terpojok di Timur Tengah secara geopolitik dan akan mempersulit posisi Amerika Serikat di sana yang memang sudah serba salah sejak aksi militer menginvasi Irak pada 2003 sebagai imbas lanjutannya.
Yang jelas, upaya Israel untuk menormalisasi relasi diplomatik dengan Arab Saudi boleh jadi akan semakin sulit dan lama.
Antipati akan sangat tinggi di kalangan elite-elite autokrat dan masyarakat Kerajaan Arab Saudi, yang membuat Mohammed bin Salman Al Saud akan semakin kesulitan untuk berdekatan dengan Tel Aviv.
Dan diakui atau tidak, situasi tersebut tentu akan sangat disukai dan diharapkan oleh Iran. Upaya-upaya Benjamin Netanyahu selama ini untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Arab Saudi akan terbentur antipati politik domestik di Arab Saudi.
Lebih dari itu, Iran akan terus mendukung Hamas, layaknya Hezbollah, baik secara langsung dengan selalu menjadi supplier utama persenjataan untuk Hamas maupun secara tidak langsung dengan memberikan dukungan geopolitik di kawasan Timur Tengah atas aspirasi anti-Israel yang dikobarkan Hamas.
Dukungan geopolitik tersebut akan mengambil bentuk dorongan kepada China dan Rusia untuk terus menggandeng Saudi Arabia, dengan target terdekat adalah mempersulit kemungkinan normalisasi relasi diplomatik antara Israel dan Arab Saudi.
Lalu Iran akan mengeksploitasi kebersamaannya dengan Arab Saudi di dalam organisasi BRICs untuk menyuarakan suara kritis atas Amerika Serikat dan Israel.
Sementara di sisi lain, Israel akan mulai diragukan oleh banyak pihak sebagai perisai Amerika Serikat di Timur Tengah.
Selama ini, Amerika Serikat memberikan "millitary's edge" hanya kepada Israel; satu-satunya di Timur Tengah, sebagai perisai pertama yang akan melindungi negara-negara mitra Amerika Serikat seperti Saudi Arabia, jika Iran melakukan serangan.
Karena itu, hanya Israel yang diperbolehkan Amerika Serikat memiliki pesawat tempur canggih F35 di Timur Tengah, persis seperti keistimewaan Singapura di Asia Tenggara.
Pun Amerika Serikat tidak pernah mempermasalahkan senjata nuklir yang dimiliki oleh Israel, sementara Amerika Serikat dan Israel akan kelimpungan kalau Iran sampai berhasil memilikinya.
Semua itu tak lain karena posisi "millitary's edge" yang disematkan Amerika Serikat kepada Israel.