ISLAMABAD, KOMPAS.com - Setiap satu kali seminggu, Manzoor Ali bangun dengan harapan samar di hatinya dan berjalan dari kamp di pinggiran Dadu, tempat dia dan keluarganya tinggal sejak September, ke Noorang Chandio, desanya yang berjarak satu jam perjalanan.
Setiap itulah, dia melihat apakah air banjir sudah surut. Dan, setiap kali pulalah, dia kembali dengan kecewa.
Ini sudah menjadi rutinitas Ali sejak bencana banjir melanda Pakistan tahun lalu.
"Kami kehilangan segalanya,” kata ayah 10 anak ini.
“Kami tidak bisa kembali sekarang karena rumah kami masih kebanjiran dan desa-desa terendam. Pejabat menuliskan nama kami tetapi mereka tidak pernah kembali dengan bantuan apa pun," tambahnya, seperti dikutip dari Guardian.
Pakistan mengalami banjir terparah tahun lalu ketika hujan lebat selama tiga bulan menenggelamkan sekitar sepersepuluh wilayah negara itu.
PBB menyebutnya sebagai bencana iklim. Setidaknya 33 juta orang terkena dampaknya, kata pemerintah. Lebih dari 1.700 orang meninggal.
Di sebagian besar wilayah, air telah surut dan meninggalkan banyak kerusakan.
Tetapi di daerah yang paling parah terkena dampak yakni Sindh, di mana Dadu berada, dan provinsi Balochistan, air banjir tetap tergenang di petak-petak tanah yang luas.
Setidaknya 4 juta hektar lahan pertanian hancur, menyebabkan 15 juta orang kekurangan pangan dan kerugian finansial diperkirakan antara 30 hingga 35 miliar dollar AS.
Baca juga: Mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf Meninggal di Dubai
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.