Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Marak Pesat di AS, Washington Awasi Risiko Kredit "Pay Later"

Kompas.com - 16/01/2023, 13:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Skema kredit beli sekarang bayar nanti alias buy now pay later (BNPL) semakin populer dalam transaksi bisnis e-commerce di dunia. Namun, pemerintah AS mengkhawatirkan dampak negatif bagi konsumen dan sebabnya didesak memperketat regulasi.

Tren kredit cepat BNPL, belakangan semakin digandrungi oleh konsumen online. Kebanyakan menawarkan kemudahan utang untuk pembelian bernilai rendah, seperti baju, tiket konser atau bahkan untuk belanja kebutuhan pokok.

Sistem ini dibangun dengan trik lawas yang berbasis empat kali pembayaran. "Cara ini sudah teruji ampuh meningkatkan penjualan ,” kata Rohit Chopra, Direktur Biro Perlindungan Finansial Konsumen AS, CFPB.

Baca juga: Sistem Pay Later Berkembang Pesat, Literasi Keuangan Harus Ditingkatkan

"Pemain besar biasanya tidak menetapkan bunga, melainkan mencari keuntungan dari biaya transaksi kepada pedagang atau pembeli yang tidak membayar tepat waktu,” sambungnya.

Di AS, nilai kredit pay later melonjak sebanyak sepuluh kali lipat dari 16,8 juta dollar AS pada 2019 menjadi 24,2 miliar dollar AS pada 2021. Menurut pemerintah AS, rata-rata pembelian berkisar di angka 135 dollar AS.

Namun, laporan CFPB mengungkap sejumlah masalah, antara lain rendahnya perlindungan konsumen, mekanisme konflik utang piutang, maupun perlindungan data.

Kebanyakan pay later menawarkan opsi bayar empat kali, yang menyaratkan uang muka sebesar 25 persen dan kewajiban melunasi utang dalam tiga kali pembayaran setiap dua pekan. Biasanya, kredit BNPL diproses jauh lebih cepat, tanpa bunga dan pemeriksaan.

Kreditur mendapat keuntungan dari biaya transaksi yang dibebankan kepada pedagang. Biaya tersebut lebih besar dari ongkos transaksi via kartu kredit dan dipatok antara dua hingga delapan persen.

Baca juga: Apple Bisa Beli Sekarang Bayar Nanti, Fitur Baru Apple Pay Later Tanpa Bunga

Kewaspadaan konsumen

Kemudahan kredit terutama berdampak pada lonjakan konsumsi berlebih. Rohit Chopra mewanti-wanti konsumen terhadap pelaku BNPL juga menghimpun dana dan informasi yang melampaui bank-bank tradisional.

"Kebanyakan perusahaan ini mengembangkan aplikasinya sendiri yang digerakkan oleh data pelaku konsumsi masing-masing individu, untuk menjebak mereka agar membeli lebih banyak produk melalui skema beli sekarang, bayar nanti,” kata dia.

Sebuah survei yang dirilis Bank Sentral AS mencatat setidaknya 61 persen konsumen pay later tercatat memiliki pekerjaan dan termasuk kelas menengah.

Salah satu temuan yang penting dalam studi tersebut adalah alasan debitur. Berbeda dengan asumsi kebanyakan analis, pengguna skema pay later tidak menyebut minimnya akses kredit sebagai alasan utama memilih BNPL sebagai metode pembayaran.

Baca juga: Apple Luncurkan Pay Later untuk Beli Sekarang Bayar Nanti

Pertumbuhan pesat di era digital

Dengan popularitas yang tinggi, Biro Perlindungan Finansial Konsumen AS mendesak agar regulasi BNPL diperketat. CFPB menilai, penyedia jasa kredit BNPL harus diperlakukan layaknya lembaga kredit lainnya.

Penny Lee, Direktur Asosiasi Teknologi Keuangan AS yang mewakili kepentingan BNPL, sebaliknya menilai kemudahan kredit justru menguntungkan ekonomi.

"Konsumen dan pedagang sama-sama diuntungkan oleh skema beli sekarang, bayar nanti. Konsumen bisa menggunakannya sebagai alternatif kredit yang fleksibel dan berbunga rendah. Pedagang lintas sektor juga menggunakan skema ini untuk meraih pelanggan baru,” tulisnya kepada DW.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com