Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mampukah Sri Lanka Pulih dari Keruntuhan Ekonomi?

Kompas.com - 21/07/2022, 22:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Editor

Pada November 2021, pemerintah juga melakukan percobaan besar pada program tanaman organik. Langkah itu dilakukan hanya beberapa bulan setelah mengumumkan larangan nasional terhadap pertanian pupuk dan pestisida sintetis.

Akibat larangan tersebut, produksi beras dalam negeri turun sepertiga dan produksi teh, yang digunakan sebagai ekspor utama negara itu dan sumber mata uang asing, turun 16 persen.

"Dalam waktu singkat, mereka menghancurkan produktivitas yang dicapai petani selama bertahun-tahun, sehingga pembangunan kembali membutuhkan waktu yang cukup lama, dan setelah mereka mengatasi krisis yang dihadapi," ungkap Bhowmick.

Baca juga: Profil Ranil Wickremesinghe, Politisi Veteran yang Puluhan Tahun Incar Kursi Presiden Sri Lanka

Kadirgamar mengatakan kepada DW bahwa ada banyak dari 2 juta petani Sri Lanka telah "kehilangan kepercayaan" pada program pemerintah setelah kegagalan pada program organik dan "stimulus aktif" akan diperlukan oleh pemerintah untuk mendorong petani agar mengolah kembali tanah mereka.

"Bahkan jika pertanian rendah dalam hal PDB, dalam ketahanan pangan dan mata pencaharian masyarakat, itu adalah sektor yang sangat besar,” kata Kadirgamar kepada DW.

Pariwisata juga bisa memakan waktu lama untuk pulih. Pendapatan turis Sri Lanka mencapai 4,3 miliar dollar AS pada 2018, tetapi runtuh hampir 80 persen selama pandemi.

Sementara sebagian besar negara Asia telah melihat peningkatan wisatawan internasional baru-baru ini, Kerusuhan sipil yang meluas dan gangguan parah di Sri Lanka sekali lagi telah menunda banyak wisatawan.

Baca juga: Punya Presiden Baru, Bisakah Sri Lanka Pulih dari Keruntuhan Ekonomi?

Pengiriman uang penting untuk devisa

Meningkatnya pengiriman uang asing dari perkiraan 3 juta orang Sri Lanka yang bekerja di luar negeri bisa menjadi sumber pendapatan negara yang terus meningkat. Tetapi hal itu juga telah terdampak selama pandemi dan kontrol mata uang yang diterapkan tahun lalu.

Ekspatriat secara total mengirim pulang antara 500-600 juta dollar AS per bulan, tetapi ketika pemerintah menetapkan nilai tukar rupee pada harga yang tidak kompetitif, penggunaan sistem transfer "hawala" informal meningkat sementara pengiriman uang resmi turun hingga 52 persen.

"Hawala" memungkinkan pekerja migran untuk mengirimkan uang tunai dalam mata uang yang mereka peroleh kepada perantara yang memastikan keluarga pekerja menerima jumlah yang setara dalam rupee.

"Kecuali pemerintah menemukan cara untuk mendorong pengiriman uang melalui jalur formal, angka tersebut tidak akan kembali ke tingkat sebelumnya," kata Kadirgamar.

Bhowmick merasa lebih optimis bahwa pengiriman uang dari luar negeri akan meningkat akibat dari banyaknya warga Sri Lanka yang mencari pekerjaan di luar negeri karena pekerjaan mereka di dalam negeri telah mengering.

"Saya cukup berharap bahwa pengiriman uang akan kembali ke tingkat normal dalam satu tahun atau lebih setelah pemulihan pasca-pandemi terjadi," katanya kepada DW.

Baca juga: 3 Nama Masuk Nominasi Presiden Baru Sri Lanka, Siapa yang Terkuat?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com