Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Dilumat Gempa, Afghanistan Memohon Pertolongan Dunia

Kompas.com - 24/06/2022, 02:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GEMPA berkekuatan magnitudo 5,9 mengguncang Afghanistan, Rabu (22/6/2022) dini hari waktu setempat.

Korban jiwa diperkirakan lebih dari 1.000 orang, baru dari satu provinsi yang paling parah terdampak. Diperkirakan 1.500 orang terluka, dengan mereka yang selamat pun tak lagi punya naungan.

Disebut sebagai paling mematikan dalam dua dekade terakhir, gempa pada Rabu melumat negara yang sudah dihajar oleh perang, kemiskinan, dan kelaparan ini. 

Baca juga: Gempa Afghanistan 2022 dan Sejumlah Gempa Terparah 10 Tahun Terakhir

Rumah berbahan batu dan bata lumpur runtuh di kawasan timur negara ini. Pemimpin tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzadah, yang jarang tampil ke publik meminta pertolongan pada dunia, Kamis (23/6/2022).

Dikutip Assosiated Press (AP), Akhundzadah memohon masyarakat internasional untuk membantu rakyat Afghanistan yang terdampak tragedi ini.

Warga di daerah terpencil di dekat perbatasan Afghanistan dan Pakistan ini terpantau menggali reruntuhan menggunakan tangan kosong untuk mencari korban baik hidup maupun meninggal. Penguburan jenazah pun memakai peralatan seadanya.

Baca juga: Cerita Korban Gempa Afghanistan yang Tewaskan 1.000 Orang: Mengerikan, Tangisan di Mana-mana

Setidaknya 2.000 rumah hancur di wilayah itu. Setiap rumah di situ rata-rata ditempati oleh tujuh atau delapan orang, berdasarkan keterangan wakil perwakilan khusus PBB untuk Afghanistan, Ramiz Alakbarov, seperti dikutip AP.

Air bersih saja tak ada

Reruntuhan dinding dan atap yang runtuh adalah sisa-sisa desa tempat Zaitullah Ghurziwal (21 tahun) tinggal, di pusat gempa Afghanistan pada Rabu. Ghurziwal adalah warga Ghurza, salah satu desa yang paling terdampak oleh gempa pada menit-menit pertama pergantian hari tersebut.

Orang-orang yang selamat di Ghurza berkeliaran dalam kondisi terguncang. Mereka mencari tempat berlindung atau melihat ke langit, berharap ada bantuan datang melalui jalur udara.

"Tidak ada selimut atau tenda... tidak ada tempat berteduh. Orang-orang bergeletakan di tanah terbuka," kata Ghurziwal kepada AFP, sambil menunjuk ke sisa tempat tinggalnya selama ini bersama enam anggota keluarga lain. 

Baca juga: Gempa Kuat Afghanistan M 5,9 Tewaskan 1.000 Orang, Terasa hingga Pakistan dan Iran

"Kami membutuhkan makanan dan air. Seluruh sistem distribusi air kami hancur. Semuanya hancur."

Dalam keadaan tidak dilumat gempa saja, kawasan tersebut sudah sulit dijangkau. Jalanan rusak dan sejumlah longsor sebelum ini makin menyulitkan akses ke sana.

Sejumlah tim penolong berupaya turun tangan menggunakan helikopter untuk menuju ke lokasi terdampak gempa.

Namun, seturut penarikan pasukan Amerika dan NATO dari Afghanistan yang dimulai pada pengujung kekuasaan Presiden Donald Trump dan finalisasinya di pemerintahan Joe Biden, banyak organisasi kemanusiaan meninggalkan negara yang selama berdekade-dekade telah menjadi arena perang berbasis perebutan penguasaan sumber daya energi dan ideologi itu. 

Sebagaimana dikutip AP, Alakbarov menyebut bahwa Afghanistan tidak secara resmi meminta PBB memobilisasi bantuan dunia ke lokasi gempa. Namun, kata dia, Afghanistan membuka akses penuh ke sana bagi bantuan internasional.

Gempa Afghanistan pada Rabu berpusat di Provinsi Paktika, sekitar 50 kilometer arah barat daya dari Kota Khost. Pusat gempa disebut hanya berkedalaman 10 kilometer dari permukaan tanah dan masuk kategori gempa dangkal yang kekuatannya cenderung menghancurkan. 

Setelah kengerian pada jam-jam pertama setelah gempa melumat Ghurza, warga yang selamat telah menguburkan 60 orang pada Rabu dan 30 orang pada Kamis. 

"Kami bahkan tidak memiliki sekop untuk menggali, tidak ada peralatan," kata Ghurziwal.

Di pelataran sisa-sisa rumahnya, ibu Ghurziwal yang berusia 80 tahun terbaring di dipan, mencoba mencari perlindungan dari terik matahari. Pada malam setelah gempa, hujan deras mengguyur mereka yang kehilangan tempat tinggal.

Baca juga: Kenapa Batas Biden Menarik Pasukan dari Afghanistan 31 Agustus? Bagaimana jika Telat?

Masih dari Ghurza, Nawab Khan mengatakan kepada AFP bahwa dia kehilangan tujuh anggota keluarganya. Mereka adalah istri dan enam anaknya.

Di dekatnya, sebuah tenda didirikan di sebelah rumah yang diratakan, menyediakan tempat berlindung bagi sekitar 15 wanita dan anak-anak.

Wanita tua lainnya, mengenakan gaun beludru merah bermotif bunga dan selendang hijau panjang, kehilangan empat kerabat.

"Saya menguburkan mereka hari ini," kata perempuan yang mengaku bernama Zulfana, kepada AFP. Sekarang, tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu bantuan dan penyelamat tiba.

"Saya merasa sangat tidak berdaya, saya tidak punya satu sen pun," ujar Zulfana lirih.

Gempa pada Rabu dini hari itu merobohkan menara telekomunikasi dan memutus jaringan listrik. Jalan pun terblokir bebatuan yang longsor. 

"Ketika saya keluar dari rumah saya, keadaan sepi karena semua orang terkubur di bawah rumah mereka. Tidak ada yang tersisa di sini," kata Ghurziwal, menuturkan detik-detik gempa melumat desanya. 

Mohammad Amin Huzaifa, kepala otoritas informasi di Provinsi Paktika mengatakan informasi di lapangan sangat sulit dikumpulkan karena putusnya jaringan komunikasi dan listrik tersebut. 

"(Terlebih lagi), daerah tersebut terkena banjir karena hujan deras tadi malam... juga sulit untuk mengakses lokasi yang terkena dampak," imbuh Huzaifa, Kamis, seperti dikutip AFP.

Dari gempa ke gempa dalam kemiskinan

Badan seismologi Eropa mengatakan, gempa Afghanistan pada Rabu dirasakan hingga jarak lebih dari 500 kilometer, yang menjangkau kawasan lain di Afghanistan, juga wilayah Pakistan dan India.

Kondisi sarana dan prasarana kesehatan yang buruk memperparah upaya pencarian dan penyelamatan di lokasi paling terdampak gempa ini. 

Gempa dengan kekuatan serupa di kawasan utara Afghanistan pada 2002—sekaligus salah satu yang paling mematikan sejak 1998—telah menewaskan sedikitnya 4.500 orang. 

Lokasi yang terdampak gempa pada Rabu berada di dataran yang rawan longsor, dengan banyak bangunan tua dan rapuh. 

Sebelum ada gempa ini, kehidupan lebih dari 60 persen warga Afghanistan telah bergantung pada bantuan internasional. Persentase itu setara dengan 38 juta jiwa. 

Belum lama berselang, UNICEF menyatakan pula bahwa tak kurang dari 1,1 juta anak Afghanistan berusia kurang dari 5 tahun terancam kurang gizi.

Pakistan menyatakan akan segera mengirimkan makanan, tenda, selimut, dan bantuan darurat lain ke lokasi paling terdampak gempa. Amerika berencana menyalurkan bantuan lewat PBB dan lembaga kemanusiaan, untuk menghindari pemberian uang ke Pemerintah Taliban.

Dari Amerika Serikat, penasihat keamanan nasional Presiden Joe Biden, Jake Sullivan, menyatakan negaranya akan mencari cara untuk memberi bantuan, termasuk membuka pembicaraan dengan penguasa Taliban.

Peta gempa Afghanistan pada Rabu (22/6/2022) dan kekuatannya.AFP Peta gempa Afghanistan pada Rabu (22/6/2022) dan kekuatannya.

"Presiden Biden sedang memantau perkembangan dan telah mengarahkan USAID dan mitra lain pemerintah federal untuk menilai opsi respons AS membantu mereka yang paling terkena dampak," kata Sullivan, seperti dikutip AFP, Kamis (23/6/2022).

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan bahwa pemerintahnya telah pula menghubungi kelompok-kelompk kemanusiaan yang masih aktif di Afghanistan yang selama ini mendapat sokongan dana dari Washington. 

"Mitra kemanusiaan AS sudah merespons, termasuk dengan mengirim tim medis untuk membantu mereka yang terkena dampak, dan kami sedang menilai opsi respons lainnya," kata Blinken dalam sebuah pernyataan sebagaimana dikutip AFP.

Tak berselang lama setelah penarikan pasukan Amerika dan NATO dimulai, Taliban mengambil alih kembali pemerintahan Afghanistan. Amerika membuka pembicaraan dengan Taliban tapi menolak mengakui pemerintahan mereka. 

Baca juga: Jelang Satu Tahun Pemerintahan Joe Biden

Gempa merupakan salah satu bencana yang berulang kali melumat dan mengoyak Afghanistan, salah satu negara termiskin di dunia pada saat ini dengan pendapatan domestik bruto (PDB) tak lebih dari 500 dollar AS menurut catatan World Population Review.

Dalam seperempat abad terakhir, gempa paling mematikan di Afghanistan terjadi di 1998. Pada tahun itu ada dua gempa besar di sana.

Pada 4 Februari 1998, Afghanistan diguncang gempa berkekuatan magnitudo 5,9 dan setidaknya 4.500 orang tewas. Lalu, pada 30 Mei 1998, gempa berkekuatan magnitudo 6,6 menewaskan paling tidak 5.000 orang. 

Gempa terbesar di Afghanistan dalam seperempat abad terakhir terjadi pada 26 Oktober 2015. Berkekuatan magnitudo 7,5, gempa di perbatasan Afghanistan dan Pakistan ini menewaskan 380 orang. 

Di antara yang paling mematikan dan berkekuatan terbesar itu, gempa berkekuatan magnitudo 6,9 pada 1 Februari 1991 di Afghanistan tercatat menewaskan 1.500 orang. 

Krisis kemanusiaan

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan organisasi ini telah menyerukan mobilisasi untuk bantuan. Pengerahan tim kesehatan dan pasokan obat, makanan, peralatan trauma, dan tempat penampungan darurat telah terkonfirmasi.

Akhundzada mengungkapkan kekhawatiran korban jiwa masih akan terus bertambah, seturut informasi yang sulit didapat dari lapangan. 

"Itu adalah situasi yang mengerikan," kata Arup Khan (22), yang dirawat di rumah sakit di Ibu Kota Provinsi Paktika, Sharan.

Baca juga: Indonesia Tawarkan Beasiswa Pendidikan bagi Perempuan Afghanistan

"Ada tangisan di mana-mana. Anak-anak dan keluarga saya berada di bawah lumpur."

Direktur Rumah Sakit Sharan, Mohammad Yahya Wiar, mengatakan rumah sakitnya berupaya melakukan yang terbaik untuk merawat korban luka dari gempa pada Rabu. 

"(Namun), negara kami miskin dan kekurangan sumber daya," katanya kepada AFP. "Ini adalah krisis kemanusiaan. Ini seperti tsunami."

Rekaman yang dirilis Taliban menunjukkan penduduk dari satu desa menggali parit panjang untuk menguburkan jenazah. 

"Pemerintah bekerja sesuai kemampuannya," ujar Anas Haqqani, pejabat senior Taliban melalui Twitter. "Kami berharap Komunitas Internasional & lembaga bantuan juga akan membantu rakyat kami dalam situasi yang mengerikan ini."

Gutteres dalam ungkapan dukanya mencatat betapa beratnya tragedi ini di negeri yang sudah terkoyak oleh beragam krisis sebelum ini.

"Hati saya tertuju kepada rakyat Afghanistan yang sudah terhuyung-huyung akibat dampak konflik bertahun-tahun, kesulitan ekonomi, dan kelaparan. Saya menyampaikan belasungkawa yang mendalam kepada keluarga para korban dan berharap pemulihan cepat bagi yang terluka," kata Gutteres dalam pernyataannya, Rabu.

Baca juga: Tak Ada Warisan Amerika di Afghanistan

Selain menyatakan pengerahan bantuan sudah dilakukan, Gutteres juga menyeru kepada komunitas internasional untuk turun tangan. "Sekarang saatnya solidaritas," ujar dia.

Tomas Niklasson, utusan khusus Uni Eropa untuk Afghanistan, lewat akun Twitter menyatakan, Uni Eropa sudah memantau situasi dan bersiap mengkoordinir bantuan darurat.

Dari Vatikan, Rabu, Paus Fransiskus memanjatkan doa untuk para korban gempa Afghanistan, bersama seruan untuk dunia turut membantu. Doa dan seruan ini kemudian diunggah pula di akun Twitter-nya.

 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com