Tetapi, Rusia tak peduli akan semua itu. Rusia tetap membombardir Ukraina. Rusia tetap menggempur Ukraina dan merebut wilayah dan kota-kota di Ukraina.
Pesawat-pesawat tempurnya tetap mengebomi Ukraina. Rudal-rudalnya tetap juga menerjang berbagai bangunan.
Tragedi yang merobek-robek perdamaian Eropa. Perang telah mengubah peta Eropa. Ada banyak peristiwa besar di Eropa yang memunculkan wajah baru.
Pada tahun 1789 pecah Revolusi Perancis yang menandai ambruknya monarki dan lahirlah republik; pada tahun 1815 Kongres Vienna setelah berakhirnya Perang Napoleon menggariskan peta baru Eropa dengan memperbaiki keseimbangan kekuatan dan mengantarkan dekade perdamaian; pada tahun 1919 ditandatangani Perjanjian Versailler.
Perjanjian ini menandai lahirnya negara-bangsa yang berdaulat independen menggantikan kekaisaran multinasionl.
Lalu, pada tahun 1945 disepakati Perjanjian Yalta. Lewat perjanjian ini negara-negara besar sepakat pembagian Eropa menjadi Eropa Barat Eropa Timur yang ada di bawah “spheres of influence”-nya Uni Soviet.
Dan, pada tahun 1989, pecah revolusi demokratik di Eropa Timur yang didominasi Uni Soviet.
Baca juga: Membaca Resolusi MU PBB (Bagian I)
Revolusi demokratik ini merobek Tirai Besi; Uni Soviet ambruk, yang oleh Putin disebutnya sebagai “bencana terbesar abad ke-20.”
Nah, bencana apa yang akan terjadi setelah Rusia menginvasi Ukraina?
Tanggal 24 Februari 2022, pagi. Perang dimulai. Pagi itu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan “Operasi Militer Khusus” ke Ukraina dengan tujuan "demiliterisasi dan denazifikasi".
Beberapa menit kemudian, rudal-rudal Rusia berebut menghantam berbagai bangunan di Ukraina.
Pesawat-pesawat tempur Rusia membabi-buta menembakkan rudal ke Ukraina. Dan, tak lama kemudian, pasukan Rusia menerobos perbatasan Ukraina dari tiga penjuru.
Mereka masuk dari Timur, Selatan (Krimea dan Donbas), dan Utara lewat Belarusia.
Dan, ibu kota Kyiv menjadi sasaran gempuran rudal dan pesawat tempur. Bahkan wilayah Ukraina barat mendapat bagian gempuran.
Apa sesungguhnya yang melatari Putin memerintahkan tentaranya menyerang Ukraina? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu.
Semula Moskwa mengatakan, “Operasi Militer Khusus” dilakukan untuk “demiliterisasi” dan “denazifikasi” untuk melindungi para korban intimidasi dan genosida yang selama delapan tahun dilakukan pemerintah Ukraina.
“Bukan rencana kami untuk menduduki wilayah Ukraina. Kami tidak bermaksud memaksakan apapun kepada siapapun dengan paksa," tegasnya (www.bbc.com).
Lalu muncul teori aksi militer itu sebagai reaksi Rusia terhadap perluasan NATO ke timur dan peringatan pada Ukraina jangan pernah sekali-kali berani memutuskan untuk bergabung dengan NATO.
Moskwa menganggap perluasan itu sebagai pelanggaran, yakni melanggar “garis merah”.
Selama ini Rusia selalu menyatakan bahwa AS dan NATO telah berjanji tidak akan berekspansi ke timur, di luar perbatasan bekas Jerman Timur, di akhir era Perang Dingin.
Rusia berasumsi bahwa negara-negara itu tidak dapat memilih sendiri aliansi (militer) mana yang akan mereka masuki.
Sementara AS dan NATO berpendapat bahwa Rusia tidak dapat memutuskan siapa yang bergabung dengan aliansi militer itu. Negara-negara itu memiliki kebebasan penuh untuk memilih. Tetapi, Rusia tidak bisa menerima itu (Alexandra M. Vacroux, 2022).