Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Merenungkan Indonesia Melalui China

Kompas.com - 22/03/2022, 14:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Peristiwa tersebut menjadi wake-up call bagi China untuk mengetatkan ikat pinggang politik, menyiapkan supra dan infrastruktur politik yang kuat sebelum melakukan liberalisasi ekonomi, agar Partai tidak ambruk.

Dan dua tahun kemudian, China menyadari bahwa langkahnya benar. Karena di sisi lain, Partai Komunis Soviet ambruk tahun 1991 ketika mencoba mendorong liberalisasi ekonomi dan politik sekaligus.

China semakin yakin, ada imbas politik yang harus ditanggung jika serta-merta ekonomi dibuka.

Oleh karena itu, China mengambil jalan tengah, liberalisasi ekonomi secara gradual, yang dimulai kembali setelah tur Deng Xiaoping ke China bagian selatan (dikenal dengan Deng's southern tour) yang mematangkan status Kawasan Ekonomi Khusus di Shenzhen, Zhuhai, Guangzhou, dan kota lainnya.

Tapi jauh hari sebelum China mengalami shock politik atas liberalisasi ekonomi yang ditempuhnya, Indonesia lebih dahulu didatangi goncangan politik atas kebijakan liberalisasi investasi, yakni peristiwa Malari 15 Januari 1974, yang berbuah kerusuhan.

Sama seperti Partai Komunis China, Orde Baru mengetatkan ikat pinggang politik, menggasak para demonstran hingga korban berjatuhan.

Partai Komunis China bertahan, Orde Baru juga demikian. Pak Harto tak mampu digoyang kala itu.

Yang terjadi malah tujuh bulan kemudian, tepatnya 9 Agustus 1974, justru presiden Amerika Serikat yang mundur dari jabatannya, Richard Nixon, karena tersengat kasus Watergate.

Namun pada tahun 1997-1998, hegemoni Orde Baru dan Pak Harto tak mampu lagi menahan gejolak penolakan.

Orde Baru berakhir dan berganti dengan era reformasi yang berlanjut sampai hari ini. Dari Habbie berpindah ke Gus Dur.

Setelah Gus Dur 'dikudeta' secara halus, Megawati naik takhta. Kemudian, era demokrasi elektoral kompetitif dimulai setelah terpilihnya SBY sebagai presiden pertama via pemilihan langsung.

Tapi pergantian Orde Baru dengan Orde reformasi ternyata tidak serta merta mengubah watak ekonomi politik Indonesia.

Para oligar yang beralih dari kekuasaan monolitik Soeharto ke era pasar bebas politik ternyata pelan-pelan ikut mengubah wajah ekonomi politik reformasi menjadi sangat "menor oligarkis," sebagaimana yang kita rasakan hari ini.

Pertumbuhan ekonomi yang terbilang baik tak terlalu terdistribusi dengan rata. Mengikut rumusan ekonom Perancis Thomas Piketty, di Indonesia "return of investment" jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi (r > g).

Kenaikan tahunan IHSG jauh di atas angka pertumbuhan ekonomi sehingga kekayaan para pemilik modal berlipat.

Walhasil, pemerataan menjadi kurang terperhatikan. Sementara China, yang belum membuka pasar finansialnya kala itu, nyaris tidak terpengaruh oleh krisis finansial Asia tahun 1997.

Sejak 1992, China melaju kencang dengan raihan angka pertumbuhan ekonomi yang sangat mengagumkan.

Walhasil, China layak berbangga diri karena mampu mengangkat ratusan juta rakyatnya ke atas garis kemiskinan.

China mulai fokus pada liberalisasi ekonomi dengan ambisi pertumbuhan yang tinggi. China pun kemudian memindahkan Ibu kotanya. Pernah di Chongqing, Nanjing, lalu ke Beiping (Beijing).

Tapi bukan itu yang membuat China berhasil sebagaimana yang kita saksikan hari ini. Tidak ada satupun kajian tentang transformasi ekonomi China yang mengatakan pemindahan ibu kota sebagai pemicunya. Tidak pernah saya temui kajian semacam itu.

Karena itu, untuk mengejar ketertinggalan dari China, saya yakin pemindahan Ibu kota bukanlah hanya itu sebagai salah satu strateginya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com