Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Merenungkan Indonesia Melalui China

Kompas.com - 22/03/2022, 14:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ambiguitas Amerika Serikat tersebut membuat posisi pasukan Inggris (yang disertai pasukan dari India) lebih leluasa melakukan serangan brutal kepada militer dan rakyat Surabaya pada tanggal 10 November 1945, tak lama setelah negosiasi Mao dan Chiang gagal di Chongqing, di saat Inggris ingin melucuti senjata Jepang dan membebaskan pasukan sekutu di Surabaya.

Serangan brutal dan tak imbang tersebut, yang disambut dengan perjuangan heroik penuh keberanian oleh rakyat Indonesia di Surabaya, kini diperingati sebagai hari Pahlawan Nasional oleh Indonesia.

Posisi yang sama diperlihatkan Amerika Serikat di saat Belanda memutuskan ingin melancarkan Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua dua tahun kemudian.

Namun empat tahun setelah itu, karena semakin bergejolaknya gelora nasionalisme rakyat Indonesia (antikolonialisme), tekanan dunia internasional, dan keputusan Indonesia untuk memadamkan pemberontakan PKI di Madiun, yang berpadu dengan meningkatnya ancaman Stalin di Eropa serta kemenangan Mao atas Chiang Kai-shek di China (Chiang mundur ke Taiwan), memaksa Amerika Serikat harus menekan Belanda agar segera mengakui kemerdekaan Indonesia.

Di satu sisi, Amerika Serikat meyakinkan Amsterdam bahwa Indonesia tidak akan jatuh ke tangan komunis.

Di sisi lain, Amerika Serikat dan sekutu memang membutuhkan tambahan pasukan untuk mengimbangi aksi penambahan pasukan Soviet di Jerman Timur.

Kemudian dua bulan setelah Mao mendeklarasikan People Republic of China (PRC), Belanda dan Indonesia memperoleh kata sepakat di Konfrensi Meja Bundar dengan beberapa syarat dan ketentuan.

Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Sementara urusan Papua Barat dibicarakan kemudian.

Namun perjuangan kemerdekaan, gelora nasionalisme, dan dialektika geopolitik yang begitu panjang tersebut tidak serta merta mengubah kemerdekaan menjadi surga untuk ibu pertiwi dan rakyat Indonesia.

Dialektika ekonomi, politik dan demokasi pascaproklamasi melahirkan instabilitas demokrasi dan kerentanan politik yang nyaris berpengaruh ke segala bidang.

Hingga akhirnya di penghujung tahun 1950-an, Soekarno harus mendeklarasikan dekrit presiden untuk mengakhiri era demokrasi kompetitif dan memulai era demokrasi terpimpin (guided democracy).

Keputusan tersebut akhirnya juga membawa Indonesia memasuki babak baru pemerintahan beberapa tahun kemudian, yakni Orde Baru, setelah didahului peristiwa kelam tahun 1965.

Selama 32 tahun selanjutnya, Indonesia berpindah dari demokrasi terpimpin kepada era demokrasi versi Orde Baru yang cenderung sangat diktatorial. Partai-partai difusi menjadi dua dan satu Golongan Karya.

Mafia Berkeley masuk gelanggang ekonomi, menguasai Bappenas, Kementerian Keuangan, dan beberapa kementerian lainnya.

Ekonomi akhirnya menggeliat karena sokongan perencanaan ekonomi yang cukup terukur dan karena diuntungkan oleh era Oil Booming tahun 1970-an.

Soeharto secara "setengah hati" mencoba mengikuti gaya "Developmental State" (meminjam istilah guru besar Universitas California, Berkeley, Prof. Chalmers Johnson) yang diterapkan di Jepang.

Hasilnya, pembangunan yang bergelimang KKN di mana para Oligar (guru besar ilmu politik Northwestern University Jeffrey A. Winters menyebutnya dengan Sultanic Oligarch) berhasil dijinakkan di bawah satu komando sang jenderal berbintang lima, Soeharto.

Tapi dibanding Mao (1949-1976), Soeharto terbilang berhasil melakukan transformasi ekonomi Indonesia secara signifikan.

Di saat Soeharto berhasil mengambil alih kekuasaan dari Soekarno, China sedang dihadang bencana kelaparan akibat kebijakan Great Leap Forward Mao Tse Tung.

Tak sampai di situ, derita itu semakin menjadi-jadi di saat Mao meluncurkan Cultural Revolution.

China baru mulai membalik keadaan menjadi lebih baik setelah Mao meninggal dan Deng Xiaoping yang menggantikannya meluncurkan kebijakan pintu terbuka (Open Door Policy) pasca-1978.

China punya sejarah kelam tahun 1989, sebelas tahun sejak Deng berkuasa, akibat transisi menuju liberalisme ekonomi yang tersendat secara politik setelah Hu Yaobang meninggal yang berbarengan dengan tingginya inflasi, puncaknya mencapai 28 persen.

Kita mengenalnya dengan peristiwa Tiananmen atau "Tiananmen Square Massacre," di mana kerusuhan berujung dengan tumpahnya darah para mahasiswa dan demonstran pada 1989.

Deng tanpa segan-segan memerintahkan wali kota Shanghai kala itu, Jiang Zemin, untuk membereskan demonstrasi dengan tank-tank milik People Liberation Army, pada tanggal 15 April 1989.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com