"Hal itu dilihat oleh kelompok Islam di Indonesia."
"Makanya, banyak video atau artikel dalam bahasa Indonesia yang penontonnya jutaan dan menganggap Rusia adalah rekan bagi kelompok Islam."
Terakhir adalah diplomasi publik Rusia yang banyak memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa untuk belajar ke negara itu.
Yang menarik, katanya, narasi yang dikembangkan dari para lulusan penerima beasiswa itu atas invasi Rusia ke Ukraina, sama persis dengan Pemerintah Rusia.
"Bahwa apa yang dilakukan Rusia hanya operasi militer. Itu sudah menunjukkan keberpihakan posisi."
Baca juga: Kenapa Nuklir Rusia Siaga Tinggi, Apa Tujuan Putin?
Parahnya, analisis yang pro-Rusia tersebut ditelan mentah-mentah oleh masyarakat Indonesia. Apalagi, pengetahuan publik Indonesia tentang apa yang melatari konflik Ukraina dengan Rusia sangat minim.
Untuk diketahui, ketegangan di kawasan itu turut dipicu oleh sikap Rusia yang mengakui kemerdekaan dua wilayah di Ukraina, yakni Luhansk dan Donetsk.
"Jadi mudah sekali di balik narasinya dan sangat mudah menganggap ini hanya konflik geopolitik besar antara Rusia dengan Amerika Serikat."
"Kalau narasi di level elite dan akademisi seperti itu, ya terbayang dong di bawah yang enggak paham seperti apa. Termakan oleh narasi yang dominan itu."
Kepopuleran Kedutaan Besar Rusia daripada Ukraina pun, menurut dia, turut menyokong keberpihakan warga Indonesia.
Radityo merujuk pada pengikut akun Kedutaan Besar Rusia di Indonesia @RusEmbJakarta dan interaksi percakapannya lebih besar ketimbang Kedutaan Besar Ukraina @UKRinINA.
"Sehingga begitu ada perang, mudah sekali simpati publik diberikan kepada yang mereka kenal atau lebih tahu."
Bagi Radityo, sikap publik Indonesia yang tidak seragam membela korban invasi--seperti yang terjadi pada Palestina--berdampak pada hilangnya legitimasi moral sebagai bangsa.
"Kita enggak bisa lagi banyak komentar karena kita ragu-ragu ketika dihadapkan pada situasi begini dan masyarakat kita mudah sekali diubah posisinya karena keberadaan AS."
Lebih dari itu, posisi masyarakat Indonesia di mata dunia terkesan hipokrit. Sebab, publik akan cenderung peduli jika korban penindasan adalah kelompok Islam.
"Kalau bukan (kelompok Islam), kesannya tidak mendukung. Ini agak mengkhawatirkan."
Baca juga: Kenapa Rusia Tidak Masuk NATO? Ini 5 Alasannya