ADDIS ABABA, KOMPAS.com - Pemimpin regional Tigray menegaskan, mereka siap mati setelah dikepung oleh pasukan Etiopia, di mana mereka diminta menyerah dalam 72 jam.
Perdana Menteri Abiy Ahmed melancarkan kampanye militer menggempur Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) pada 4 November.
Serangan itu dilakuakan setelah TPLF dituding menggempur dua kamp militer di sebelah utara, dan berusaha mengganggu stabilitas pemerintahan Ahmed.
Baca juga: Konflik Etiopia: PM Abiy Ultimatum Pasukan Tigray Menyerah dalam 72 Jam
Pasukan pemerintah kini menerangkan bahwa mereka mengepung ibu kota region itu, Mekele, dan mengambil posisi dalam radius 60 kilometer.
Pengepungan itu dilanjutkan dengan ancaman bahwa militer bakal menggelar bombardir terhadap kota yang mempunyai populasi setengah juta jiwa itu.
PM Abiy Ahmed, penerima Nobel Perdamaian tahun lalu, meminta pimpinan Tigray untuk menyerah tiga hari ke depan, mengancam tak ada jalan bagi mereka untuk kabur.
Namun Pemimpin TPLF, Debretsion Gebremichael, menyindir bahwa justru yang menderita kekalahan adalah Ahmed, di mana ancaman itu muncul untuk mengulur waktu.
"Dia tidak mengerti siapa kami. Kami adalah orang dengan prinsip teguh dan siap mati membela hak kami di sini," tegas Gebremichael.
Dilansir AFP Senin (23/11/2020), pemutusan internet di kawasan itu membuat klaim dari pihak pemerintah maupun TPLF tak bisa diverifikasi.
Baca juga: Konflik Etiopia-Tigray: Apa Pemicunya dan Apa yang Sedang Terjadi?
Brigadir Jenderal Tesfaye Ayalew dikutip Fana menyatakan, mereka siap bergerak menuju Mekele setelah merebut kota di utara dan selatan.
Militer mengancam bakal "tanpa ampun" membombardi kota itu, dan mengimbau warga sipil untuk mengungsi secepat mungkin. Memunculkan kekhawatiran dari aktivis HAM.
"Mengancam keseluruhan kota menjadi target tak hanya salah. Namun juga dianggap bentuk hukuman kolektif," kata peneliti Human Rights Watch Laetitita Bader.
Ahmed sendiri sudah menyerukan kepada rakyat Mekele untuk bergabung dengan pemerintah, agar mereka menyerahkan TPLF dan dihadapkan pada sidang.
Ratusan orang dilaporkan tewas dalam perang tiga pekan terakhir, di mana Addis Ababa mengerahkan tank dan pesawat pembom ke kawasan yang dikuasai TPLF.
Baca juga: Konflik Etiopia, Sebuah Ringkasan untuk Anda
Amnesty International bahkan mendokumentasikan pembantaian di Mai-Kadra, di mana ratusan orang ditikam maupun dimutilasi.
Puluhan ribu orang harus mengungsi ke Sudan, di mana ada roket yang menghantam Eritrea. Memunculkan ketakutan konflik ini bisa meluas.
Dalam pernyataan yang dirilis Minggu (22/11/2020), Ahmed menuding pasukan Tigray menghancurkan infrastruktur saat dipukul mundur.
Di antaranya sarana penting yang dihancurkan oleh TPLF mencakup bandara di kota Axum, sekolah, jembatan, rumah sakit, maupun jalan penting.
PM berusia 44 tahun itu bahkan menentang seruan Uni Afrika untuk menghentikan tembak menembak. Menyebut operasi ini adalah "penegakan hukum" melawan "para pengkhianat".
Baca juga: Kronologi Konflik Etiopia-Tigray: Warga Sipil Dibantai, 25.000 Orang Mengungsi
TPLF mempunyai sejarah di mana mereka memimpin perang yang menumbangkan rezim brutal Derg pada 1991, dan menguasai Etiopia selama tiga dekade hingga Abiy Ahmed menang di 2018.
Sejak saat itu, para pimpinan Tigray mengeluhkan bagaimana mereka diperlakukan secara tidak adil seperti dicopot dari jabatan pemerintahan.
Selain itu, mereka juga dikambinghitamkan atas korupsi yang melanda maupun berbagai krisis yang tengah mendera Etiopia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.