Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Cerita WNI Hobi "Thrifting" di Australia: Di Sini Kebanyakan untuk Amal

"Saya bisa bilang 70 persen (adalah bekas pakai) dan 30 persen yang baru itu adalah pakaian yang saya beli lima tahun yang lalu," katanya.

"Jarang banget saya beli baju yang baru sekarang."

Kebiasaan berbelanja baju bekas sudah dilakukan Alma sejak dirinya masih duduk di bangku SMP tujuh tahun yang lalu.

Karenanya, setelah pindah ke Adelaide, ibu kota Australia Selatan untuk melanjutkan kuliah, hobinya tersebut malah menjadi gaya hidup.

"Karena (harganya) lebih murah, apalagi kalau memikirkan biaya hidup yang semakin mahal," ujar mahasiswi University of South Australia tersebut.

"Saya tidak punya anggaran tambahan untuk pakaian baru, jadi saya akhirnya thrifting."

Salah satu hasil thrifting, atau hasil berbelanja ke toko barang bekas, kebanggaan Alma di Australia adalah sebuah coat untuk musim dingin yang dibelinya hanya 16 dollar Australia, atau kurang dari Rp 200.000.

Padahal beberapa coat baru di Australia harganya bisa mencapai di atas 100 dollar (Rp 995.000).

Alma juga menemukan kamera film Hanimax SnapShot, yang di pasaran memiliki harga 29 dollar Australia (Rp 288.000), namun di toko barang bekas hanya 10 dollar Australia (Rp 99.500).

Tidak jarang Alma juga menemukan topi atau kaos yang menurutnya one of a kind atau jarang ditemukan.

"I like the idea of finding things, menurut saya unik saja," katanya.

Menurutnya kebanyakan toko pakaian bekas di Australia menyumbangkan hasil penjualannya kepada orang-orang tidak mampu atau mengalami kondisi tertentu.

"Kalau di sini saya sukanya karena hampir setiap thrift shop melakukan charity, misalnya Vinnies, Salvos," ujar Alma.

"Ini menjadi alasan dan pembenaran lain kenapa saya milih thrifting, karena selain sustainable, cost-effective, (hasil penjualannya) juga buat good cause."

Salvos, salah satu toko kesukaan Alma, adalah toko barang bekas yang dikelola oleh organisasi bernama Salvation Army Australia.

Toko Salvos benar-benar menggantungkan pada "kemurahan hati warga", seperti dijelaskan juru bicara Salvos kepada ABC Indonesia.

"Setiap item yang disumbangkan ke Toko Salvos akan disortir dan dievaluasi secara individual oleh tim kami," jelasnya.

"Jika item tersebut dalam kondisi yang sesuai untuk dibeli oleh pemilik baru, item tersebut juga akan dijual di toko atau online di salvosstores.com.au."

Menurut Salvos, pihaknya menyortir barang-barang yang sudah disumbangkan warga secara hati-hati, untuk kemudian ditinjau.

"Baju-baju yang sudah melewati proses (pemeriksaan) kemudian diberi harga berdasarkan kondisi, kualitas, dan nilainya."

Setelah ia mengetahuinya, ia mengaku langsung terinspirasi untuk berkontribusi.

"Jadi sesekali saya menyumbang baju dan sepatu saya ke beberapa op shop (toko barang bekas) di sini," ujar Tyo, panggilan akrabnya.

Tyo sudah terbiasa melakukan thrifting sebelum ia pindah ke Melbourne pada tahun 2018.

Salah satu alasannya adalah karena ia bukan penggemar fast fashion, yakni fesyen yang cepat berganti dalam waktu singkat dan sering kali dikaitkan dengan proses pembuatan pakaian yang tidak etis dan tidak ramah lingkungan.

Sejak tahun 2006-2007, Tyo sudah hobi thrifting di Pasar Senen Jakarta dan Pasar Gedebage Bandung.

Karena sudah melakukannya sejak lama, ia dapat menemukan perbedaan toko barang bekas di Indonesia dan Australia.

"Barang-barang di Indonesia tidak terkurasi, benar-benar bervariasi dari yang buruk banget sampai yang kondisinya pristine (murni), tidak seperti di Melbourne yang kebanyakan pasti masih layak pakai," katanya.

Namun ia mengakui bahwa harga produk bekas yang dijual di Indonesia sangat murah.

Di Melbourne, selain mengunjungi toko seperti Goodbyes, Lost & Found atau Savers, Tyo juga suka "berburu pakaian" di Pasar Minggu Camberwell atau Fitzroy Mills Market.

Pasar Minggu Camberwell sebenarnya merupakan tempat parkir yang diubah menjadi tempat berjualan berbagai barang bekas, termasuk pakaian.

Pasar tersebut dikelola oleh organisasi Balwyn Rotary yang menyediakan bantuan kemanusiaan dan telah menyumbang 14 juta dollar Australia (Rp 139,35 miliar) sejak berdiri pada tahun 1976.

Menurut catatan ekonomi tahunan platform iklan Gumtree, nilai barang bekas yang dijual di Australia naik hampir dua kali lipat dibandingkan periode 2011-2021.

Pihak Salvos mengatakan, menyumbang barang-barang yang tidak terpakai bukan hanya sebagai upaya meminimalkan barang-barang berakhir di tempat pembuangan akhir.

"Tapi juga memberikan orang dari semua kalangan untuk membeli berbagai macam barang dengan harga yang lebih terjangkau dan berkelanjutan, ketimbang membeli barang baru dari ritel fast fashion."

Alma merasa senang karena kebanyakan orang sudah mulai beralih ke thrifting untuk menunjang industri pakaian yang keberlanjutan.

Namun, ia juga menyayangkan tren thrifting yang mulai melenceng dari makna sebenarnya.

"Mungkin sekarang banyak orang yang mulai kontra sama thrifting, apalagi di Indonesia dan beberapa negara karena dengan sering belanja kan konsumerisme akan naik," katanya.

"Sedangkan alasan thrifting adalah untuk bisa mengonsumsi sedikit dan menghabiskan sedikit (uang)."

"Banyak orang yang belanja untuk mengikuti tren saja, tapi akhirnya baju-baju mereka kebuang lagi," katanya.

Karenanya Alma memilih hanya berbelanja sekali atau dua kali sebulan.

https://www.kompas.com/global/read/2023/04/09/174600970/cerita-wni-hobi-thrifting-di-australia--di-sini-kebanyakan-untuk-amal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke