Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Masalah Ekonomi Melanda China, Ini 5 Indikasinya

BEIJING, KOMPAS.com - Ekonomi China melambat akibat adaptasi dengan strategi nol-Covid yang ketat dan melemahnya permintaan global.

Target Beijing - tingkat pertumbuhan tahunan 5,5 persen - kini dinilai di luar jangkauan, dengan para pejabatnya telah meremehkan kebutuhan untuk memenuhi target itu.

“Negeri Tirai Bambu” mungkin tidak sedang berjuang melawan inflasi yang tajam seperti AS dan Inggris, tetapi memiliki ekonom melihat masalah ekonomi lainnya melanda China.

“Pabrik dunia” tersebut tiba-tiba menemukan lebih sedikit pelanggan untuk produknya, baik di dalam negeri maupun internasional. Ketegangan perdagangan antara China dan ekonomi utama seperti AS juga menghambat pertumbuhan.

Sementara itu yuan berada di jalur tahun terburuk dalam beberapa dekade karena anjlok terhadap dolar AS, dan memicu ketidakpastian di pasar keuangan. Ini juga mempersulit bank sentral untuk memompa uang ke dalam perekonomian.

Semua ini terjadi di tengah pertaruhan yang sangat genting bagi Presiden Xi Jinping, yang diharapkan mengamankan masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kongres Partai Komunis (CPC) yang dimulai pada 16 Oktober.

Analis S&P Global Ratings mengungkap masalah ekonomi yang menghantui China saat ini dalam laporan BBC pada Rabu (5/10/2022) berikut:

1. Malapetaka strategi nol Covid

Wabah Covid di beberapa kota, termasuk pusat manufaktur seperti Shenzhen dan Tianjin, telah mengganggu aktivitas ekonomi di berbagai industri.

Orang-orang juga tidak menghabiskan uang untuk hal-hal seperti makanan dan minuman, ritel atau pariwisata, sehingga menempatkan layanan bisnis utama di bawah tekanan.

Di sisi manufaktur, aktivitas pabrik tampaknya telah naik kembali pada September, menurut Biro Statistik Nasional. Rebound bisa jadi karena pemerintah lebih banyak melakukan belanja infrastruktur, tapi itu terjadi setelah dua bulan manufaktur tidak berkembang.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan terutama sejak survei swasta menunjukkan bahwa aktivitas pabrik sebenarnya turun pada September, dengan permintaan memukul produksi, pesanan baru dan lapangan kerja.

Permintaan dari negara-negara seperti AS juga menurun karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi, inflasi dan perang di Ukraina.

Para ahli sepakat bahwa Beijing sebenarnya dapat berbuat lebih banyak untuk merangsang ekonomi, tetapi hanya sedikit yang bisa dilakukan sampai strategi nol Covid dihentikan.

"Tidak ada gunanya memompa uang ke dalam ekonomi kita jika bisnis tidak dapat berkembang atau orang tidak dapat membelanjakan uangnya," kata Louis Kuijs, kepala ekonom Asia di S&P Global Ratings.

2. Minimnya capur tangan pemerintah

Sejumlah langkah telah dilakukan Beijing seperti mengumumkan rencana 1 triliun yuan (Rp 2,1 kuadriliun) untuk mendorong usaha kecil, infrastruktur dan real estat pada Agustus.

Tetapi, ahli menilai para pejabat China sejatinya dapat berbuat lebih banyak lagi dengan memicu pengeluaran untuk memenuhi target pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja.

Itu termasuk dengan lebih banyak berinvestasi di infrastruktur, meringankan persyaratan pinjaman untuk pembeli rumah, pengembang properti dan pemerintah daerah, dan keringanan pajak untuk rumah tangga.

"Respon pemerintah terhadap pelemahan ekonomi cukup sederhana dibandingkan dengan apa yang telah kita lihat selama serangan pelemahan ekonomi sebelumnya," kata Kuijs sebagaimana dilansir BBC.

3. Krisis properti China

Lemahnya aktivitas real estate dan sentimen negatif di sektor perumahan tidak diragukan lagi memperlambat pertumbuhan.

Krisis properti China telah memukul ekonomi dengan keras karena properti dan industri lain yang berkontribusi terhadapnya menyumbang hingga sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB) China.

"Ketika kepercayaan lemah di pasar perumahan, itu membuat orang merasa tidak yakin tentang situasi ekonomi secara keseluruhan," kata Kuijs sebagaimana dilansir BBC.

Pembeli rumah telah menolak melakukan pembayaran hipotek pada bangunan yang belum selesai dan beberapa ragu rumah mereka akan pernah selesai. Permintaan untuk rumah baru turun dan itu telah mengurangi kebutuhan impor komoditas yang digunakan dalam konstruksi.

Terlepas dari upaya Beijing untuk menopang pasar real estat, harga rumah di puluhan kota telah menurun lebih dari 20 persen tahun ini.

Dengan pengembang properti di bawah tekanan, analis mengatakan pihak berwenang mungkin harus berbuat lebih banyak untuk memulihkan kepercayaan di pasar real estat.

4. Perubahan iklim memperburuk keadaan

Cuaca ekstrem mulai berdampak jangka panjang pada industri China.

Gelombang panas yang parah, diikuti oleh kekeringan, melanda provinsi barat daya Sichuan dan kota Chongqing di sabuk tengah pada Agustus.

Ketika permintaan AC melonjak, itu membanjiri jaringan listrik di wilayah yang hampir seluruhnya bergantung pada tenaga air.

Pabrik-pabrik, termasuk produsen besar seperti pembuat iPhone Foxconn dan Tesla, terpaksa memangkas jam kerja atau tutup sama sekali.

Biro Statistik China mengatakan pada Agustus bahwa keuntungan di industri besi dan baja saja turun lebih dari 80 persen dalam tujuh bulan pertama tahun 2022, dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Pemerintah Beijing akhirnya turun tangan melakukan penyelamatan dengan menggelontorkan puluhan miliar dolar untuk mendukung perusahaan energi dan petani.

5. Raksasa teknologi China kehilangan investor

Tindakan keras regulasi terhadap raksasa teknologi China - yang telah berlangsung dua tahun - memperburuk kondisi ekonomi.

Tencent dan Alibaba melaporkan penurunan pendapatan pertama mereka di kuartal terakhir - laba Tencent turun 50 persen, sementara laba bersih Alibaba turun setengahnya.

Puluhan ribu pekerja muda kehilangan pekerjaan memperburuk krisis pekerjaan China, dengan satu dari lima orang berusia 16 hingga 24 tahun kini dilaporkan menganggur. Hal ini dapat merugikan produktivitas dan pertumbuhan China dalam jangka panjang.

Investor juga merasakan pergeseran di Beijing, dengan beberapa perusahaan swasta paling sukses di China mendapat sorotan yang lebih besar saat cengkeraman Xi pada kekuasaan tumbuh.

Ketika perusahaan milik negara tampaknya mendapatkan dukungan, investor asing mulai menarik uangnya.

Softbank Jepang menarik sejumlah besar uang tunai dari Alibaba, sementara Berkshire Hathaway dari Warren Buffet menjual sahamnya di pembuat kendaraan listrik BYD. Tencent telah kehilangan investasi senilai lebih dari 7 miliar dollar AS pada paruh kedua tahun ini saja.

Sementara itu, AS menindak perusahaan China yang terdaftar di pasar saham Amerika.

"Beberapa keputusan investasi sedang ditunda, dan beberapa perusahaan asing berusaha memperluas produksi di negara lain," kata S&P Global Ratings dalam catatan baru-baru ini.

Dunia menjadi terbiasa dengan kenyataan bahwa Beijing mungkin tidak terbuka untuk bisnis seperti dulu, dengan Xi mempertaruhkan keberhasilan ekonomi yang telah mendukung China dalam beberapa dekade terakhir.

https://www.kompas.com/global/read/2022/10/05/183100770/masalah-ekonomi-melanda-china-ini-5-indikasinya

Terkini Lainnya

AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

Global
[POPULER GLOBAL] Netanyahu Tanggapi Ancaman Biden | Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza Gagal

[POPULER GLOBAL] Netanyahu Tanggapi Ancaman Biden | Pembicaraan Gencatan Senjata Gaza Gagal

Global
Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok sebagai Pecundang...

Saat Dokter Jantung Ladeni Warganet yang Sebut Non-Perokok sebagai Pecundang...

Global
Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Agungkan Budaya Gila Kerja, Petinggi Mesin Pencari Terbesar China Malah Blunder

Global
Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Karyawan Ini Nekat Terbang Sebentar ke Italia demi Makan Pizza, Padahal Besok Kerja

Global
Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Warga Israel Bakar Kompleks Gedung UNRWA di Yerusalem Timur

Global
100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

100.000 Orang Terpaksa Tinggalkan Rafah Gaza di Bawah Ancaman Serangan Darat Israel

Global
Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Jeda Pengiriman Senjata AS Tak Berdampak, Israel Terus Gempur Rafah

Global
Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Kontestan Israel Lolos ke Final Kontes Lagu Eurovision, Tuai Kecaman

Global
Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Selama 2024, Heatstroke di Thailand Sebabkan 61 Kematian

Global
Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Mesir Ungkap Kunci Hamas dan Israel jika Ingin Capai Kesepakatan Gencatan Senjata Gaza

Global
Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Perundingan Gencatan Senjata Gaza di Kairo Berakhir Tanpa Kesepakatan

Global
PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

PRT di Thailand Ini Ternyata Belum Pasti Akan Terima Warisan Rp 43,5 Miliar dari Majikan yang Bunuh Diri, Kok Bisa?

Global
Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Rangkuman Hari Ke-806 Serangan Rusia ke Ukraina: Presiden Pecat Pengawalnya | Serangan Drone Terjauh Ukraina

Global
Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Meski Diprotes di Kontes Lagu Eurovision, Kontestan Israel Maju ke Final

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke