Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah WNI Tak Terdampak Kenaikan Harga di Australia Berkat Berkebun dan Beternak Sendiri

AUSTRALIA SELATAN, KOMPAS.com - Harga makanan, listrik, dan bensin tengah melonjak di Australia, namun semua itu hampir tidak memengaruhi keluarga warga negara Indonesia (WNI) bernama Melissa Weckert.

Mereka jarang sekali mampir ke supermarket karena memiliki kebun yang dipenuhi pohon dan tumbuhan yang menghasilkan buah dan sayur-sayuran.

Bahkan ketika harus sekali berbelanja, Melissa akan mengendarai mobil hybrid, yang sebagian digerakkan oleh listrik.

"Dengan melakukan ini kami meninggalkan sedikit jejak karbon dan tidak menggunakan banyak plastik," kata Melissa, diberitakan ABC News Indonesia, Senin (4/7/2022).

Keluarga Melissa yang tinggal di Australia Selatan juga telah mengembangkan kebiasaan mengonsumsi sayuran yang tumbuh di kebunnya sesuai musim.

Di musim dingin, mereka akan makan brokoli, kol, kubis, dan lainnya.

Sementara di musim panas, mereka akan makan sayur-sayuran seperti tomat dan ketimun.

Dengan demikian, Melissa tidak harus memikirkan harga bahan makanan yang sedang naik di Australia saat ini.

"Kami sangat bersyukur telah mengambil keputusan ini sejak lama," kata Melissa.

Walau terkesan mudah, membangun kebiasaan ini, kata dia, membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Setelah membeli rumah pada 2016, Melissa dan suaminya Sam berkomitmen untuk membangun pola hidup ramah lingkungan.

"Kami cinta lingkungan dan ingin membangun kebiasaan yang baik demi keberlangsungan Bumi secara perlahan-lahan," kisahnya.

"Kami juga ingin membangun lingkungan yang baik untuk keluarga kecil kami," ungkap Melisaa.

Kini, kebun Melissa sudah menghasilkan lebih dari 35 jenis buah dan sayur.

Dia juga memelihara delapan ekor ayam untuk diambil telurnya.

"Kami punya banyak rempah, labu, ketimun, tomat, timun Jepang, juga pohon ceri," jelas dia.

Kebun Melissa memiliki tangki penampung air hujan.

Rumahnya juga telah dilengkapi dengan panel surya baterai, dan memakai tenaga listrik sehingga sama sekali tidak memakai gas.

Selain itu, mereka juga menambahkan insulasi di dalam rumah, yang menghambat perubahan suhu drastis, dengan menggunakan jendela berlapis dan tirai penutup jendela jenis 'honeycomb'.

"Kami ingin supaya rumah kami hemat energi," kata Melissa.

Dia mengatakan semua ini membutuhkan modal setidaknya 40.000 dollar Australia atau Rp407 juta, namun kini sudah balik modal.

"Memang sulit untuk memulainya tanpa ketekunan, tapi kalau sudah memulai, semuanya perlahan menjadi lebih mudah," jelas dia.

"Sekarang kami bisa menghemat 10.000 dollar Australia (Rp101 juta) sampai 12,000 dollar Australia (Rp122 juta) dari tidak menggunakan banyak bensin, listrik dan mengonsumsi buah dan sayur yang ditanam sendiri," tambah Melissa.

Tidak berhenti di sana, keluarga Melissa juga selama ini memilih membeli pakaian bekas, meminjam mainan untuk anaknya Kieran dari perpustakaan, dan membuat perabotan dari materi yang tidak terpakai.

WNI lainnya

Serupa dengan Melissa, WNI lainnya di Australia Selatan, Nila Osborne juga merasakan keuntungan dari memiliki kebun sendiri.

Sejak pindah dari Alice Springs, Australia Utara pada 2016, Nila membawa kebiasaan berkebun dia dan suaminya ke Adelaide.

"(Di kebun) Ada lemon, limau, tomat tapi sudah mati karena musim dingin, serai, cabe yang pasti, selada tapi sudah habis, kemangi, dan rempah lain seperti parsley," kata Nila.

"Saya juga punya pohon alpukat yang buahnya banyak sekali dan terkadang saya jual," tambah dia.

Nila mengaku merasa lega karena di tengah kenaikan harga, dia masih bisa menghemat pengeluaran bahan makanan dengan mengonsumsi hasil kebunnya yang dibekukan.

Selain memiliki kebun, Nila juga sudah sejak 2016 memasang panel surya di rumahnya.

Selama bertahun-tahun, keberadaan panel tersebut telah memotong biaya pengeluaran listrik keluarga Nila dan bahkan memberikan keuntungan finansial.

Meski demikian di tengah inflasi, keuntungan dari penggunaan panel suryanya semakin menipis.

"Hingga bulan Mei kemarin saya bayar 87,47 dollar Australia (untuk tiga bulan) sementara Mei tahun lalu saya hanya bayar 73,57 dollar Australia," katanya.

"Tapi tetap lebih menguntungkan kalau punya panel surya seperti ini. Kalau tidak mungkin biayanya sudah di atas 100 atau 200-an dollar Australia".

Permintaan panel surya meningkat

Saat ini, banyak orang Australia aktif melirik pola hidup ramah lingkungan.

Dewan Energi Bersih Australia mengatakan bisnis yang adalah anggota mereka melaporkan kenaikan minat pembelian panel surya sebanyak 50 persen.

"Berita media seputar kenaikan biaya listrik dan ancaman gangguan ketersediaan listrik baru-baru ini tampaknya mendorong peningkatan minat ini," ujar Kate Thornton, kepala organisasi tersebut.

PowerHousing, organisasi yang menangani perumahan masyarakat dengan mengembangkan dan mengelola perumahan yang terjangkau, melaporkan bahwa hampir 8 juta rumah di Australia tidak hemat energi.

Rumah seperti ini menimbulkan emisi karbon dalam jumlah yang signifikan di Australia.

Henry Michael Pattie yang bekerja sebagai konsultan manajemen energi, mengatakan sekarang adalah waktu yang ideal untuk mempertimbangkan panel surya.

Henry mengatakan keputusan untuk memasang panel surya dan baterai di rumahnya di Glen Osmond, Australia Selatan, telah membantunya menghemat setidaknya 1.500 dollar Australia (Rp10 juta) setahun.

"Sekarang, ketika semua harga naik, saya masih bisa menabung," katanya.

"Ini juga membantu mengurangi emisi karbon dari energi yang saya konsumsi," ungkap Henry.

Terlepas dari meningkatnya minat panel surya baru-baru ini, Emi Mingui Gui, peneliti dari Climateworks Center di Monash University, mengatakan kenaikan biaya hidup akan mempersulit mereka yang memiliki "daya beli lebih rendah" untuk berinvestasi dalam energi bersih.

"(Ini) mungkin berarti rencana untuk beralih ke kendaraan listrik atau membeli panel surya, baterai, peralatan hemat energi, semua itu harus ditunda," jelas dia.

Dr Emi mengatakan sementara inflasi mungkin memaksa orang untuk menggunakan lebih sedikit energi dalam jangka pendek, pemerintah perlu berbuat lebih banyak untuk membantu individu dan bisnis membuat perubahan jangka panjang.

"Dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, jalan kita masih panjang," beber dia.

Australia berada di peringkat 52 dari 76 negara dan wilayah dalam hal kemajuan dan komitmen untuk membangun masa depan rendah karbon, menurut survei Indeks Masa Depan Hijau MIT tahun ini.

"Dalam hal kepadatan energi, intensitas per kapita, kami masih salah satu yang tertinggi di dunia, jadi ada banyak hal yang harus dilakukan," kata Dr Emi.

https://www.kompas.com/global/read/2022/07/04/180100170/kisah-wni-tak-terdampak-kenaikan-harga-di-australia-berkat-berkebun-dan

Terkini Lainnya

AS Berhasil Halau Serangan Rudal dan Drone Houthi di Teluk Aden

AS Berhasil Halau Serangan Rudal dan Drone Houthi di Teluk Aden

Global
Petinggi Hamas Sebut Kelompoknya akan Letakkan Senjata Jika Palestina Merdeka

Petinggi Hamas Sebut Kelompoknya akan Letakkan Senjata Jika Palestina Merdeka

Global
Inggris Beri Ukraina Rudal Tua Canggih, Begini Dampaknya Jika Serang Rusia

Inggris Beri Ukraina Rudal Tua Canggih, Begini Dampaknya Jika Serang Rusia

Global
Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Internasional
Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Global
Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Global
Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Global
Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Global
Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Global
Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Global
Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Global
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Global
PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

Global
Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke