Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Ahli Sebut Tantangan Joe Biden Setelah Pilpres AS Mirip dengan Situasi di Indonesia

KOMPAS.com - "You are fired!" merupakan kalimat andalan Donald Trump ketika masih menjadi pembawa acara The Apprentice. Dan kini, kalimat tersebut digunakan sebagian pemilih di Amerika Serikat (AS) kepada sang presiden sehingga ia tercatat sebagai salah satu dari sembilan petahana yang ditolak rakyat untuk menjabat pada periode kedua.

Kepergian Trump dari Gedung Putih pada tanggal 20 Januari 2021 mendatang, jika transisi kekuasaan berjalan lancar sesuai jadwal, jelas akan meninggalkan banyak tantangan bagi penerusnya, Joe Biden dari Partai Demokrat.

Masyarakat AS mengalami perpecahan yang semakin tajam, terutama sesudah peristiwa kematian warga kulit hitam, George Floyd, di tangan polisi dan masa kampanye sengit untuk memperebutkan tiket ke Gedung Putih.

Hingga kini Presiden AS Donald Trump dari Partai Republik belum mengakui kekalahan dan justru bertekad melayangkan gugatan hukum terkait proses pemilihan presiden. Sikap seperti itu dikhawatirkan akan semakin memupuk keretakan sosial.

"Meskipun Trump sekarang masih presiden, dia sebentar lagi harus menyerahkan posisinya ke Biden, tetapi dia tidak mau. Dan kalau dia tidak mau, pendukungnya juga tidak mau. Pendukungnya mengira posisinya dia (Trump) diambil darinya secara tidak adil. Nah, mana mungkin hal seperti itu dipulihkan oleh Biden ini," kata Lindy Backues, guru besar di Eastern University, Philadelphia.

Backues, yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun, menyandingkan kondisi di AS saat ini mirip dengan hajatan politik di Indonesia pada 2019 lalu.

Prabowo Subianto, yang saat itu merupakan calon presiden nomor urut dua, sudah mendeklarasikan diri sebagai pemenang pemilihan presiden sebelum hasil resmi diumumkan.

Kemudian, sesudah hasil resmi menyatakan Joko Widodo sebagai pemenang pilpres, kubunya melayangkan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi, namun gugatan ditolak. Suhu politik dan tensi di masyarakat pun sempat tinggi.

"Orang Indonesia mungkin sangat mengerti posisinya orang Amerika saat ini." Demikian ucapan Backues membandingkan imbas pemilihan presiden Amerika saat ini dan pilpres di Indonesia pada 2019.

Dua kubu yang perlu ditenteramkan

Oleh karenanya, menurut Backues, mengatasi polarisasi masyarakat menjadi salah satu tantangan berat bagi presiden terpilih Joe Biden dan jalannya harus segera dirintis.

Biden sendiri dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (7/11/2020) malam di Delaware, berikrar menjaga persatuan seraya meminta para pendukungnya untuk berhenti memperlakukan lawannya sebagai musuh.

Adapun Trump masih berkukuh dengan tuduhannya, walau tanpa disertai bukti-bukti, bahwa terjadi kecurangan dalam pemilu dan Partai Demokrat mencuri kemenangan dari Republik.

Sikap itu kemudian diperkuat oleh tim kampanyenya yang menegaskan bahwa pemilu jauh dari kata usai.

"Donald Trump tidak akan berubah, dia akan tetap begini," ujar Backues.

"Tapi Biden dan timnya harus menenteramkan hati para pendukung Trump dan harus mencari titik temunya di mana mereka bisa tahu atau merasa bahwa posisinya mereka tidak dibajak, posisinya mereka tidak dicuri, bahwa mereka akan didengarkan, mereka akan dirangkul dan mereka tidak perlu khawatir bahwa kepentingan mereka akan diabaikan," tambah Backues.

Namun pada saat yang sama, lanjut Backues, Biden harus pula memisahkan kepentingan apa saja yang paling menonjol bagi pendukung Trump dan pendukungnya sendiri.

Basis kuat Trump berada di wilayah pedesaan yang mayoritas penduduknya berkulit putih, sedangkan kantong pendukung Joe Biden pada umumnya tinggal di perkotaan.

"Karena mereka juga yang menyoblos dan bersuara bagi dia. Jadi mereka harus diutamakan. Nah justru itu yang membuat sangat sulit, dua-duanya harus seimbang. Dengan pendukungnya dia harus kuat. Tapi dengan Trump kalau diabaikan, karena mereka hampir 50 persen dari orang yang bersuara, mereka masih mendukung Trump," jelasnya.

Backues, yang sempat bekerja di Indonesia selama periode 1989-2007, mengamati bahwa tantangan ini juga pernah dialami Indonesia.

"Itu tantangannya mirip sama waktu Pak Harto (mantan Presiden RI Soeharto) turun di mana Golkar dan lainnya harus ditenteramkan, harus dipuaskan. Ini sama dengan di sini. Tergantung situasi dan konteksnya. Dan selama ini terjadi maka Trump dan anteknya akan anti, akan melawan," tutur Backues.

Untuk tahap ini, masyarakat di AS pada umumnya belum merasakan ketenteraman, antara lain karena pendukung Trump marah atas kekalahan Trump dan berharap apa yang diklaim sebagai kecurangan pemilu dapat membalikkan keadaan.

"Situasinya masih sangat rumit dan belum pasti apa yang akan terjadi. Pemerintahan Trump masih berusaha membuat gangguan. Saya kira kebanyakan orang Amerika senang dengan hasil pemilu, tetapi banyak juga yang tidak senang sama sekali dan siapa tahu apa yang akan terjadi dengan mereka," ujar Patricia Henry, pensiunan guru besar dari Northern Illinois University yang fasih berbahasa Indonesia.

Tantangan ekonomi dan pandemi Covid-19

Sejauh ini masih terjadi kebuntuan di Senat terkait dengan penggelontoran dana untuk menopang ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kubu Partai Republik menolak jumlah dana yang diajukan Partai Demokrat, meskipun Trump sendiri telah membujuk Republikan untuk berkompromi.

Padahal talangan dana pemerintah federal dirasa amat diperlukan untuk menggelindingkan roda perekonomian.

Sejak pensiun sebagai guru besar, Henry menetap di Chicago, salah satu kota terbesar di AS. Ia merasakan betapa lesu perekonomian di kota yang kaya akan gedung pencakar langit tersebut.

"Dulu kami di sini, aduh rasanya enak sekali. Bisa naik bus dan tidak susah jalan-jalan, ada banyak restoran dan rumah makan yang bagus, ada sandiwara dan lain-lain. Tapi sekarang semua sudah tutup," kata Patricia Henry dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir, melalui sambungan telepon.

Menurutnya, tempat-tempat usaha tersebut akan memerlukan waktu lama untuk bangkit lagi.

"Kalau restoran saya kira akan banyak yang harus tutup selama-lamanya dan dan orang yang bekerja di bagian pelayanan memang akan lama sekali baru dapat kembali beroperasi."

Keterpurukan ekonomi sebagai dampak dari pandemi ini, menurut Henry, turut memicu kemarahan masyarakat.

"Kemarahan orang, ketidaktenangan orang, saya kira itu yang menimbulkan banyak demonstrasi dan lain sebagainya, selain ada dasar dalam beberapa hal, seperti kemiskinan dan rasialisme. Tapi Covid-19 ini menjadi api lagi," kata Henry.

Mantan wartawan Tempo dan sekarang menjadi chief operations officer di Indonesianlantern.com, portal komunitas Indonesia di AS, Didi Prambadi, menggarisbawahi bahwa jurang antara pendapatan dan pengeluaran semakin membengkak.

"Joe Biden bakal mewarisi masalah ekonomi Amerika dengan defisit sangat besar yaitu 3,3 triliun dollar AS (sekitar Rp 48 kuadriliun)," ujarnya.

Menurut hemat Backues, kekeliruan yang dibuat Trump adalah memisahkan antara pandemi dan ekonomi.

"Kita harus lihat beberapa bulan yang lalu mulai Februari sebetulnya ekonomi di sini dan dari semua angka ekonominya itu baik sekali. Jadi dari ekonomi yang baik ini, kira-kira Donald Trump akan menang pilpres ini lagi, pasti akan menang," kata Backues.

"Tapi ekonomi memburuk. Kenapa? Karena pandemi. Sebetulnya pandemi dan ekonomi bukan hal yang berbeda. Pandemi itu yang menyebabkan ekonomi memburuk dan turun. Jadi pandemi harus dianggap sebagai faktor ekonominya, dan mereka harus menangani itu," jelasnya.

Trump dikritik kurang fokus menangani pandemi bahkan menganggap remeh virus corona dan juga mempertanyakan sains dalam urusan ini, seperti manfaat penggunaan masker untuk mencegah penularan.

Ini semua terjadi ketika AS tercatat sebagai negara yang mengalami rekor tertinggi di seluruh dunia dari segi jumlah kematian maupun penularan, termasuk Trump yang terinfeksi virus corona.

"Masalahnya, Donald Trump membuat ini sebagai masalah politik dan dia kira kalau ini masalah politik maka ekonominya tidak ada kaitan dengan pandemi," pungkas Backues dalam wawancara dengan bahasa Indonesia yang fasih.

Penghitungan suara pemilihan presiden AS belum final, tetapi Biden telah diproyeksikan berhasil melewati ambang batas 270 suara elektoral sebagai pemenang.

Sementara itu, tim kampanye Trump berusaha menggugat proses pemilihan dan penghitungan suara di negara-negara bagian penentu.

Jika peralihan kekuasaan berjalan mulus, Biden akan menetap di Gedung Putih selama empat tahun sesudah pelantikan pada 20 Januari 2021 nanti dengan banyak tantangan, sebagian di antaranya disebutkan oleh para narasumber.

https://www.kompas.com/global/read/2020/11/11/135408570/ahli-sebut-tantangan-joe-biden-setelah-pilpres-as-mirip-dengan-situasi-di

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke