TOKYO, KOMPAS.com - Berbulan-bulan telah menghadapi pandemi virus corona, masyarakat Jepang mulai jenuh dan mengarah pada pembangkangan, di mana jumlah kasus masih terus meningkat di sana.
Melansir CNN pada Sabtu (8/8/2020), banyak masyarakat Jepang yang merasa tidak puas dengan tanggapan pemerintah terhadap penangan kasus virus corona.
"Ya, kita harus mendengarkan pemerintah (lockdown)," kata salah satu warga Jepang, Ayumi Sato.
Muncul anggapan bahwa para pemimpin negara hanya melakukan seminimal mungkin penyebaran virus corona, tapi tidak mengatasi masalah lainnya yang timbul, seperti dampak ekonomi kepada individu masyarakat.
Sato mengatakan kendati aturan lockdown penting, tapi tidak sepenuhnya ia dapat mengikuti arahan pemerintah itu, "Tapi, kita semua memiliki situasi kita sendiri, kita tidak selalu bisa menelan apapun yang dikatakan pemerintah. Kita tidak bisa bertahan tanpa bekerja, kita tidak bisa berhenti keluar sama sekali."
Ayumi Sato, seorang pemain saham berusia 34 tahun yang tinggal di Tokyo, berusaha berhati-hati untuk tidak terinfeksi virus corona. Namun, ia sudah mulai merasa jenuh akibat lockdown.
Selama 12 hari terakhir, Kementerian Kesehatan telah mencatat ada lebih dari 900 jumlah kasus virus corona harian, dan pada Jumat mencatat 1.601 kasus baru secara nasional, yang menandai jumlah tertinggi dalam kasus harian.
Banyak dari kasus virus corona terjadi di Tokyo, kota terpadat di dunia, di mana kekhawatiran terus berlanjut bahwa wabah yang tidak dapat dilacak dan dengan cepat tanpa kendali menyebar menjangkit ke orang lain.
Sepanjang Mei dan Juni, Tokyo telah menekan kasus virus corona di bawah 100 kasus setiap hari, tapi kemudian kasus melonjak sejak saat itu sampai ke titik 472 kasus pada 1 Agustus.
Hingga saat ini, lebih dari 15.000 kasus Covid-19 telah diidentifikasi di ibu kota Jepang ini.
Tidak ada peringatan baru
Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe mengatakan pada Kamis (6/8/2020) bahwa dia tidak akan menyerukan keadaan darurat, meski pun faktanya menunjukkan bahwa jumlah kasus infeksi virus corona yang teridentifikasi sekarang lebih banyak daripada selama keadaan darurat pertama pada April, yang berlangsung selama hampir tujuh minggu.
Situasinya sangat berbeda dengan saat itu, katanya. "Kami tidak berada dalam situasi di mana keadaan darurat perlu segera dikeluarkan, tetapi kami akan terus memantaunya dengan kesadaran yang tinggi."
Sebelumnya, pemerintah Jepang telah mengeluarkan beberapa peraturan untuk menindaklanjuti pengendalian penyebaran virus corona di dalam negerinya, seperti membatasi jam malam restoran dan bar.
Pihak berwenang di Tokyo yakin bahwa banyak infeksi kota terjadi ketika orang keluar pada malam hari, jadi mereka telah meminta restoran dan bar yang menyajikan alkohol, untuk tutup pada pukul 10 malam.
Tujuan pembatasan jam malam bar dan restoran tersebut untuk mengurangi risiko penularan virus corona di dalam ruangan.
Kemudian, pemerintah juga telah membuat komitmen yang substansial terhadap aspek finansial untuk memerangi dampak virus corona pada mata pencaharian masyarakat, dengan mengalokasikan anggaran lebih dari 2 triliun dollar AS untuk membantu mencegah kebangkrutan ekonomi masyarakatnya.
Namun, Soma IIzuka, mahasiswa berusia 21 tahun, menuduh Abe kurang memberikan sikap dan kebijakan yang tepat.
"Dia seharusnya tidak hanya berpikir tentang mendorong ekonomi. Jika dia (Abe) ingin menjaga infeksi virus corona tetap rendah dan memulai perekonomian, maka perlu memberikan kompensasi (bagi orang yang terjebak di rumah)," ujarnya.
https://www.kompas.com/global/read/2020/08/08/151021670/kasus-covid-19-masih-tinggi-tapi-masyarakat-jepang-sudah-jenuh-lockdown