Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Mindful Eating": Ritual Makan (Sehat) yang Terabaikan

Secara sederhana mindfulness merujuk pada keadaan pikiran yang penuh perhatian, kesadaran, dan fokus pada saat ini tanpa penilaian ataupun distraksi.

Kondisi yang selalu menyadari sepenuhnya apa yang sedang kita lakukan, bahkan menyadari setiap tarikan nafas kita. Kesadaran tentang segala proses yang sedang terjadi. Merasakan sensasi dari perubahan fisik ketika berjalan atau berolahraga.

Lalu di mana letak irisan dan kelindan roh kedua istilah di atas secara bermakna?

Obsesi, kontemplasi, dan refleksi

Atmosfer zaman seperti saat ini, hampir semua berhimpun dalam ajang adu kecepatan. Semua terobsesi dengan kecepatan dan kelincahan.

Para produsen beritapun berebut nongol paling cepat dalam mengabarkan sesuatu. Siapapun akan merasa seolah terjengkang jika muncul lebih belakang.

Para konsumen informasi juga terseret gelombang itu. Mereka tercebur bersama dalam situasi adu cepat. Bahkan tanpa kita sadari, ritual makan kita pun juga berlangsung dengan cepat.

Apalagi jika menunya super uenak, maka tahu-tahu kita sudah melahap porsi kedua alias nambah.

Oleh karenanya, kita butuh “berhenti” sejenak kemudian menjalani laku kontemplasi, bahkan berlanjut dengan refleksi jika dirasa perlu.

Manfaat kontemplasi secara gamblang disebutkan dalam riset oleh Tobin Hart (2008), Exploring the Neurophenomenology of Contemplation and Its Potential Role in Learning, yaitu kemampuan merasakan sensasi terjadinya perubahan keadaan fisiologis, selain perubahan emosi dan kognisi dalam diri.

Kontemplasi pada gilirannya bisa menurunkan tekanan darah, menurunkan detak jantung serta menurunkan kortisol, hormon stres yang diproduksi lebih banyak ketika tubuh mengalami stres, baik fisik maupun emosional.

Beberapa waktu lalu, ketika pandemi Covid-19 sedang parah-parahnya, terasa sekali bahwa kemampuan mindfulness sangat membantu.

Riset ilmiah bertajuk Trait Mindfulness is Negatively Associated with Distress Related to COVID-19 yang dilakukan oleh Dillard dan Meier (2021) terhadap 548 responden, menyimpulkan bahwa individu yang sanggup mempraktekkan mindfulness, dalam hal ini memusatkan perhatian, cenderung menurunkan kegelisahan dan stres, lebih sedikit kekhawatiran tentang virus, dan apabila terpapar virus, ia akan merasakan dampak negatif lebih rendah.

Selain itu, dalam khasanah Islam terdapat istilah tuma’ninah, yakni berhenti sesaat di antara gerakan-gerakan dalam ibadah shalat. Sembahyang tak seharusnya dilakukan sambil terburu-buru, layaknya sedang berkejaran dengan waktu.

Dalam setiap bentuk gerakan, ada beberapa saat yang mesti diambil untuk berhenti, meresapi, menghayati, dan menikmati.

Tuma'ninah itu jeda, seperti napas dalam kehidupan kita. Hidup harus dijalani dalam jeda demi jeda, bukan dalam irama yang terus berkejar-kejaran sepanjang waktu. Tanpa tuma'ninah, kita cuma mengejar rakaat shalat, tanpa meraih kedalaman.

Beragam peristiwa yang tampak sangat sederhana dari luar, namun sering kali kita sulit mencapainya hanya karena kita jarang menyempatkan diri melakukannya, seperti misalnya sekedar menjadi kanak-kanak, mensyukuri alam, atau menyisihkan waktu untuk duduk dan istirahat.

Padahal, urusan-urusan yang sederhana seperti itu sebenarnya justru mampu membuat kita benar-benar puas dan memberikan makna bagi hidup seperti penuturan Desi Anwar (2019), dalam bukunya “Hidup Sederhana, Hadir di Sini dan Saat ini” .

Contoh lain yang juga nampaknya amat sederhana, sehingga banyak diabaikan dan ditinggalkan adalah makan dengan pelan dan penuh kesadaran atau sering disebut mindful eating.

Perilaku konsumsi makanan dengan kesadaran demi meningkatkan kemampuan kita untuk merasakan sinyal kenyang.

Makanpun harus dilakukan dengan benar, tidak terburu-buru, agar kemampuan saraf-saraf kenyang kita meningkat sehingga makan menjadi lebih bermakna. Tidak hanya sekadar mengejar ritual mengisi perut belaka.

Bahkan ritual makan sejatinya menjadi saat untuk mensyukuri nikmat Tuhan, ketika jutaan orang di luar sana berjibaku menghindar dari petaka kelaparan.

Mindless Eating Vs Mindful Eating

Sangat penting untuk bisa memusatkan perhatian dan fokus pada kesehatan fisik maupun mental kita. Mindful eating, salah satu aktivitas yang sangat berguna untuk kesehatan fisik melalui pengendalian jumlah asupan kalori sekaligus memperbaiki kesehatan mental melalui peningkatan kesadaran serta rasa syukur.

Penurunan jumlah kalori dengan mindful eating diungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Melanson dkk (2008), Eating Slowly Led to Decreases in Energy Intake within Meals in Healthy Women, yang menyimpulkan bahwa makan lambat menurunkan asupan energi, dan menghasilkan lebih banyak rasa kenyang setelah selesai makan.

Bahkan dalam risetnya yang lebih baru (2017), Melanson menemukan bahwa wanita yang diminta makan dengan cepat telah mengonsumsi 646 kalori dalam waktu 9 menit.

Namun, wanita yang sama hanya mengonsumsi 579 kalori dalam 29 menit ketika didorong untuk berhenti sejenak di antara gigitan, dan mengunyah sebanyak 15 hingga 20 kali setiap suapan sebelum menelan makanan tersebut.

Studi ini juga menyatakan bahwa pria makan secara signifikan lebih cepat daripada wanita.

Hampir bisa dipastikan, kita semua pernah makan sambil melakukan aktivitas lain, seperti menonton televisi, kerja dengan laptop, serta mengunyah sarapan saat menuju kantor yang dimaksudkan untuk menghemat waktu sambil terus mengisi perut.

Alhasil kita tidak fokus lagi dalam menyantap makanan. Inilah yang disebut dengan mindless eating, yaitu makan tanpa kesadaran.

Lebih parahnya lagi, mindless eating bisa menyebabkan kita tetap merasa lapar serta ingin makan lagi meskipun sebelumnya sudah makan.

Bisa jadi hal inilah yang menjadi sebab kegagalan diet yang sedang dijalani, yaitu ketika kita mulai lupa cara menikmati makanan.

Kecenderungan mindless eating bisa dilawan dengan membiasakan mindful eating, metode makan yang ideal untuk tubuh, yaitu fokus, sadar sepenuhnya terhadap makanan yang sedang dikudap, “hadir” saat makan, mensyukuri serta menikmati makanan, menyadari apa rasa, aroma, tekstur, dan warna dari makanan. Bahkan mampu belajar untuk tidak lagi mengeluhkan apa yang ada di meja makan.

Termasuk dalam ritual penting dalam penerapan mindful eating adalah mengunyah makanan secara menyeluruh sebelum ditelan, meminum air di sela-sela waktu makan, menikmati aroma dan rasa makanan, menggunakan piring dan mangkuk lebih kecil, mematikan televisi dan komputer saat makan, dan menciptakan pengalaman menyenangkan di sekitar makanan dan makan.

Makanlah secara perlahan, untuk memberikan jeda pada tubuh untuk mengirim sinyal bahwa kita sudah merasa kenyang. Otak kita membutuhkan waktu 20 menit untuk mengirim sinyal kenyang tersebut.

Hal ini dijelaskan oleh Monroe (2015) dalam artikel bertajuk Mindful Eating: Principles and Practice di American Journal of Lifestyle Medicine.

Pencernaan akan bekerja dengan lebih baik, akibatnya berat badan akan lebih terkendali, serta merasakan puas dengan apa yang telah kita makan.

Namun, jika kita makan terburu-buru maka pencernaan bekerja lebih berat, makanan tidak lagi terasa nikmat dan bahkan muncul stres. Jadi saatnya melepas obsesi terhadap kecepatan, apalagi di dalam ritual makan.

https://www.kompas.com/food/read/2023/09/20/160352675/mindful-eating-ritual-makan-sehat-yang-terabaikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke