Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sagu Jadi Pakan Ternak, Beri Dampak pada Ketahanan Pangan Manusia

Pemanfaatkan sagu sebagai pakan ternak saat ini telah dilakukan Tengku Rivanda Anshori, pendamping petani sagu yang berbasis di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

“Di Meranti mereka pelihara ayam, bebek, kambing, sapi, babi, itu dibelah saja batang sagunya terus dimakan sama ayam, kambing, sapi. Ternak di sana luar biasa gemuk dan sehat,” kata Tengku dalam sesi talkshow “Sagu Pangan Sehat untuk Indonesia Maju” Pekan Sagu Nusantara, Selasa (20/10/2020).

Ketika dilakukan analisa laboratorium, ternyata kandungan energi yang terdapat dalam sagu mencapai 3.676 kkal per kilogram. Lebih tinggi dari jagung yang juga pakan ternak, dengan tingkat energi 3300 kkal per kilogram.

Dengan memanfaatkan sagu menjadi pakan ternak, bisa membuat ternak jadi punya kualitas lebih baik. Dengan begitu, dagingnya lebih banyak dan kandungan protein lebih tinggi.

Tak itu saja, harga sagu pun relatif lebih murah daripada sumber pangan lain untuk jadi pakan ternak.

Menurut Tengku, seorang peternak ayam broiler bisa menghemat sampai dengan 30 persen biaya pakan jika menggunakan sagu bukannya pakan produksi pabrik biasa.

Dampaknya pada ketahanan pangan manusia

Ternyata menjadikan sagu sebagai sumber pakan ternak juga akan berdampak pada ketahanan pangan manusia, tak hanya pada hewan ternak saja.

Tengku menjelaskan bahwa di Kabupaten Meranti, harga sumber protein seperti daging dan telur cenderung mahal.

“Di daerah kepulauan pabrik pakan itu adanya di pulau besar. Di Sumatera dan Jawa. Di kepulauan ini tidak ada. Padahal konsumsi daging dan telur itu tinggi juga,” tutur Tengku.

Hal itu membuat harga pakan hewan jadi cukup tinggi. Kemudian akan berdampak pada tingginya harga daging dan telur produk ternak juga.

Sementara jika industri peternakan bisa memenuhi kebutuhan pakan ternak dengan sagu misalnya, maka nantinya bisa membuat harga daging dan telur tersebut jadi lebih murah. Sagu memang mudah diperoleh di Meranti.

“Kalau masyarakat bisa membeli dengan harga yang lebih murah, maka kebutuhan protein masyarakat pun akan lebih bagus. Kalau protein bisa terpenuhi, maka stunting bisa teratasi dengan adanya sagu ini,” papar dia.

Rantai panjang hingga ekspor hasil ternak

Nantinya jika harga hasil ternak sudah cukup terjangkau oleh masyarakat sekitar, bukan tidak mungkin masyarakat bisa melakukan ekspor.

Tengku memaparkan, bahwa Singapura, Batam, dan Malaysia yang letaknya dekat dengan Meranti cenderung melakukan impor hasil ternak dari daerah yang sangat jauh.

Misalnya, Singapura mengimpor bebek konsumsi dari Irlandia. Sementara Batam mendatangkan telur bebek dari Blitar yang jaraknya ribuan kilometer.

“Sementara kami hanya berjarak 150 kilometer. Nah ini peluang yang bisa membuat masyarakat semakin tertarik untuk menanam sagu. Ini jadi pengetahuan juga untuk teman-teman di Papua karena di sana kan banyak ternak,” jelas Tengku.

Kini, Tengku mengaku telah ada 10 titik di Meranti yang memproduksi sapuring, produk sagu parut kering untuk pakan ternak.

Beberapa keunggulan pakan ini adalah organik. Jadi otomatis hasil ternak yang mengonsumsi Sapuring ini termasuk hasil ternak organik. Selain itu, energinya juga tinggi yang akan membuat daging hewan semakin padat.

“Tanaman sagu ini ramah gambut. Kalau pasarnya bagus, maka masyarakat tidak akan melakukan alih fungsi lahan. Mereka akan tertarik untuk terus menanam sagu karena ada nilai ekonomi di situ,” pungkas dia.

https://www.kompas.com/food/read/2020/10/21/220908875/sagu-jadi-pakan-ternak-beri-dampak-pada-ketahanan-pangan-manusia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke