Sementara di saat bersamaan, pemerintah memperbanyak perkastaan guru. Terbaru ada istilah guru penggerak sampai guru konten kreator. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga.
Dalam pembacaan Marxis, keadaan ini justru melemahkan solidaritas, keutuhan, dan kekuatan dari guru.
Apakah mungkin seorang guru yang berada pada kasta teratas mau mengerti persoalan di bawah? Sedangkan juga, apakah mungkin guru di kasta terbawah sadar bahwa mereka tereksplotasi?
Gap lebar dalam tubuh guru selama ini sudah menjadi budaya yang dinormalisasi lewat kesadaran palsu bahwa semua ini adalah proses jenjang karir. Menggaji guru ratusan ribu perbulan pada akhirnya dianggap suatu yang normal, wajar, umum, dan telah sesuai kesepakatan.
Itulah mengapa penting sekali untuk mulai menyadarkan kembali kondisi ini. Dapat dimulai dengan mempersoalkan pasal 15 dalam UU Guru dan Dosen.
Pasal tersebut mengatur bahwa “Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan”; dan “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”.
Secara garis besar terbaca adanya standar ganda bagi upah guru. Guru ASN diatur perundang-undangan (sifatnya mengikat, jelas, dan terjamin), sementara guru swasta diserahkan pada kesepakatan dua pihak (bebas, berbeda, dan tidak mengikat).
Padahal, keduanya memiliki beban kerja, kurikulum, tanggung jawab, dan pedagogi yang sama.
Kalau dicermati lebih lanjut, dengan menyerahkan sepenuhnya kesepakatan kerja sama pada kedua pihak, justru dunia keguruan akan terjebak pada mekanisme pasar.
Tercium kebebasan transaksional di sini. Pengaruh dan penentu paling utama pada akhirnya di persoalan supply-demand guru.
Kebebasan transaksional ini secara otomatis menurunkan nilai tukar guru. Jumlah lulusan pendidikan selama ini mirip kacang goreng. Begitu banyak terproduksi tiap tahunnya.
Bahkan dalam kasus terbaru, posisi guru dapat terisi oleh lulusan non kependidikan. Jadi dapat dipastikan, nilai tawar dari ijazah keguruan akan lebih murah.
Berhubung jumlah guru siap pakai begitu banyak, instansi swasta akan mendapat surplus nilai. Mereka akan dengan santainya membuka tawaran kesepakatan harga yang rendah, bahkan sampai titik eksploitasi.
Kalau guru menolak, instansi swasta tidak akan pernah pusing. Sebab dia tahu, jasa guru di pasar kerja meluber-luber. Inilah yang disebut mekanisme kontrol lewat pemeliharaan pengangguran.
Pada akhirnya seorang guru tidak punya pilihan dan kontrol. Pindah harapan pada sekolah lain tidak akan berbeda jauh.