Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membaca Nasib Guru di Hari Buruh dan Pendidikan: Upaya Menggugat UU

Alih-alih masuk kedua kelompok tersebut, guru pendidikan formal (khususnya non-ASN) lebih mirip seorang pekerja lepas (frelance) yang nilai tawarnya sangat rendah (eksploitatif).

Ketegasan pengelompokan status sangat penting untuk dasar penguraian masalah hak, kewajiban, kesejahteraan, dan tanggung jawab. Idealnya kalau disebut sebagai profesi, harusnya ada undang-undang yang memihak guru.

Kalau disebut buruh, seharusnya tunduk pada undang-undang ketenagakerjaan—yang artinya harus ada semacam ketentuan standar upah (UMK).

Sedangkan bila disebut pekerja lepas, harusnya juga ada transaksional yang berimbang dan adil.

Semua ini mengerucut pada pertanyaan, sebenarnya guru itu profesi, buruh, pekerja lepas, atau budak pendidikan? Sekalipun nasib guru adalah menjadi budak pendidikan, rasanya tetap harus diketahui dan diurai, siapa majikan di balik itu?

Menggugat lewat uji formil

Kerumitan posisi dan status guru ini cukup ironis dan berlarut. Terlepas identitas guru adalah profesi, buruh, pekerja lepas, ataupun budak, rasanya persoalan yang mendasari hal tersebut adalah kekuatan hukum atas hak dan pengupahan.

Mengurai dan menagih hak guru, cukup menarik membaca saran dari Rizma Afian Azhiim, Dosen Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, bahwa kita bisa menggugat lewat uji materi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Menurut dia, salah satu pasal yang menjadi biang kerok persoalan hak dan pengupahan guru ada di pasal 15. Selain itu, menurut Rizma, ada dua hal yang bisa dipertanyakan atau digugat pada persolan ini.

Pertama, apakah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945?

Kedua, apakah pemberlakuan pasal-pasal tertentu dalam Undang-undang tersebut merugikan hak konstitusional guru dan dosen, terutama hak atas “pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945) dan hak untuk “bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” (Pasal 28 D Ayat (2) UUD 1945)?

Menggaji guru dengan nominal ratusan ribu perbulan tentu sudah terindikasi jelas mengkhianati UUD 1945, menciderai tujuan agung mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kecerdasan apa yang bisa diharapkan dan diberikan dari tata kelola yang memperbolehkan penggajian guru ratusan ribu tiap bulan? Bahkan kalau lebih serius, nasib guru masuk pada ranah eksploitasi manusia.

Guru non-ASN diperas, dimanfaatkan, dan dijadikan sapi perah pemilik yayasan. Selama ini guru kurang memiliki nilai tawar, lantaran mekanisme pasar mengharuskannya kalah.

Belum lagi label ikhlas beramal, pahala surga, pengabdian, tanpa tanda jasa, dsb masih melingkupi pikiran dunia keguruan.

Sementara di saat bersamaan, pemerintah memperbanyak perkastaan guru. Terbaru ada istilah guru penggerak sampai guru konten kreator. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga.

Dalam pembacaan Marxis, keadaan ini justru melemahkan solidaritas, keutuhan, dan kekuatan dari guru.

Apakah mungkin seorang guru yang berada pada kasta teratas mau mengerti persoalan di bawah? Sedangkan juga, apakah mungkin guru di kasta terbawah sadar bahwa mereka tereksplotasi?

Gap lebar dalam tubuh guru selama ini sudah menjadi budaya yang dinormalisasi lewat kesadaran palsu bahwa semua ini adalah proses jenjang karir. Menggaji guru ratusan ribu perbulan pada akhirnya dianggap suatu yang normal, wajar, umum, dan telah sesuai kesepakatan.

Itulah mengapa penting sekali untuk mulai menyadarkan kembali kondisi ini. Dapat dimulai dengan mempersoalkan pasal 15 dalam UU Guru dan Dosen.

Pasal tersebut mengatur bahwa “Guru yang diangkat oleh pemerintah atau pemerintah daerah diberi gaji sesuai dengan peraturan perundang-undangan”; dan “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat diberi gaji berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama”.

Biang kerok supply-demand keguruan

Secara garis besar terbaca adanya standar ganda bagi upah guru. Guru ASN diatur perundang-undangan (sifatnya mengikat, jelas, dan terjamin), sementara guru swasta diserahkan pada kesepakatan dua pihak (bebas, berbeda, dan tidak mengikat).

Padahal, keduanya memiliki beban kerja, kurikulum, tanggung jawab, dan pedagogi yang sama.

Kalau dicermati lebih lanjut, dengan menyerahkan sepenuhnya kesepakatan kerja sama pada kedua pihak, justru dunia keguruan akan terjebak pada mekanisme pasar.

Tercium kebebasan transaksional di sini. Pengaruh dan penentu paling utama pada akhirnya di persoalan supply-demand guru.

Kebebasan transaksional ini secara otomatis menurunkan nilai tukar guru. Jumlah lulusan pendidikan selama ini mirip kacang goreng. Begitu banyak terproduksi tiap tahunnya.

Bahkan dalam kasus terbaru, posisi guru dapat terisi oleh lulusan non kependidikan. Jadi dapat dipastikan, nilai tawar dari ijazah keguruan akan lebih murah.

Berhubung jumlah guru siap pakai begitu banyak, instansi swasta akan mendapat surplus nilai. Mereka akan dengan santainya membuka tawaran kesepakatan harga yang rendah, bahkan sampai titik eksploitasi.

Kalau guru menolak, instansi swasta tidak akan pernah pusing. Sebab dia tahu, jasa guru di pasar kerja meluber-luber. Inilah yang disebut mekanisme kontrol lewat pemeliharaan pengangguran.

Pada akhirnya seorang guru tidak punya pilihan dan kontrol. Pindah harapan pada sekolah lain tidak akan berbeda jauh.

Narasi serupa dari instansi swasta tetap menjadi tembok besar. Guru kalah dan tereksploitasi. Patokan upah bagi guru dari instansi swasta pada akhirnya seperti hukum Tuhan, tersepakati tanpa bisa dinego.

Dari sini rasanya dapat kita sama-sama sepakati, menyerahkan sepenuhnya kesepakatan kerja pada pasar seperti amanat pasal 15 Undang-Undang Guru dan Dosen, hanya akan terjebak pada sistem pasar bebas berserta hukum, prinsip, dan mekanismenya.

Guru bukan lagi dibicarakan pada profesi, buruh, pekerja lepas, namun sudah menjadi barang (budak) yang dimanfaatkan oleh para majikan (pemodal).

Kaum guru, bersatulah

Sangat penting mengontrol suatu supply and demand agar nilai dari kedua belah pihak terkontrol. Sehingga kedua belah pihak tidak merasa lebih butuh atau lebih membutuhkan, melainkan saling membutuhkan.

Titik temu penawaran yang berimbang akan terwujud saat guru mulai berserikat dengan teguh, kuat, dan solid. Tujuannya tentu guna menjaga stabilitas nilai tawar.

Berserikat dalam hal ini bukan soal demo lalu menuntut hak begitu saja. Berserikat artinya, upaya kesadaran dalam melihat keringat sesama (guru) dalam kesetaran yang berkeadilan.

Guru harus mulai sadar dengan nasib golongannya sendiri. Sebab itu adalah daya tawar yang besar sebagai suatu keutuhan dan kesatuan fungsi.

Hasil dari perserikatan harus mampu didalogkan secara dewasa dan berkeadilan lewat pembentukan regulasi, kebijakan, perundang-undangan, dan implementasi.

Apalagi pendidikan disepakati sebagai kunci utama kemajuan bangsa. Di sinilah penawaran pada peran legislatif dan eksekutif menjadi mungkin berdampak.

Dalam momentum peringatan Hari Buruh dan Pendidikan, rasanya merenungkan kembali Pasal 15 Undang-Undang Guru dan Dosen secara sehat, dewasa, adil, dan bijak sangatlah perlu. Jangan sampai guru seperti sosok yang kurang jelas kedudukan identitas dan statusnya.

Sekalipun guru adalah budak pendidikan, upaya untuk mengetahui siapa majikannya adalah penting. Biar kita tahu, siapa sebenarnya penjahat dan penjajah dalam pendidikan ini.

https://www.kompas.com/edu/read/2024/04/30/131842671/membaca-nasib-guru-di-hari-buruh-dan-pendidikan-upaya-menggugat-uu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke