Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch N Kurniawan
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University | Praktisi Kehumasan | Mantan Jurnalis Energi, Lingkungan, Olahraga

Gelisah Dunia Pendidikan Memahami Gen Z

Kompas.com - 06/12/2023, 10:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TAHUN 2023 ini, SMKN 2 Kasihan Bantul, DI Yogyakarta menjadi panggung kehebatan dunia pendidikan formal Indonesia. Sorotannya pada satu siswinya, Putri Ariani, musisi muda berbakat yang mengukir prestasi gemilang.

Perjalanan musik Putri, seorang yang beratribut penyandang disabilitas tuna netra, jenius, memiliki 3,1 juta pengikut di TikTok dan 1,7 juta subscribers di YouTube, mencapai puncak ketenaran global dengan penampilan epiknya di peringkat ke-4 America's Got Talents (AGT) 2023.

SMKN 2, institusi pendidikan musik yang kaya tradisi, tentu takkan bisa melupakan momen itu: menjadi bagian penting sejarah kelahiran musisi berskala internasional dalam diri Putri.

Dilansir Kompas.com pada 15 Juni 2023, SMKN 2 Kasihan Bantul adalah sekolah menengah khusus musik yang telah melahirkan musisi terkemuka, termasuk Idris Sardi.

Tidak hanya membanggakan prestasinya pada masa lalu, sekolah ini terus berinovasi sejalan dengan perkembangan zaman.

Kolaborasi aktif dengan lembaga internasional seperti Associated Board of the Royal School of Music (ABRSM) milik Kerajaan Inggris menjadi bukti komitmen SMKN 2 Kasihan Bantul dalam mengembangkan kurikulum, buku–buku referensi, dan mengikuti uji kompetensi standar internasional.

Hal ini makin diperkuat dengan kerja sama dengan berbagai musisi dari dalam dan luar negeri untuk berbagi ilmu kepada SMKN 2 serta program pertukaran pelajar asing.

Hubungan antara Putri dan SMKN 2 Kasihan Bantul dapat diibaratkan sebagai simbiosis mutualisme yang memperkuat keduanya.

Putri mengakses bimbingan berkualitas sesuai harapannya di SMKN 2, memungkinkannya untuk meraih prestasi global yang mencerminkan karakter khas Generasi Z.

Dampak positif yang dihasilkan tidak hanya terasa pada reputasi Putri dan SMKN 2 Kasihan Bantul, melainkan juga bagi citra positif Indonesia di dunia musik internasional.

Inilah bentuk keterikatan istimewa, di mana dunia pendidikan formal Indonesia di tingkat menengah dan Generasi Z berjalan beriringan, menghasilkan prestasi gemilang yang membawa nama baik bangsa.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Apakah semua institusi pendidikan formal termasuk pendidikan tinggi sudah mampu memahami dan mengakomodasi kebutuhan Gen Z?

Ataukah institusi pendidikan formal akan tergerus oleh kreator konten di platform seperti YouTube, Instagram, TikTok, pengembang game online yang digemari Gen Z, dan kursus tepat guna yang akan menjadi kekuatan utama yang membentuk pandangan dunia dan nilai-nilai generasi mendatang?

Bagaimana dunia pendidikan formal khususnya pendidikan tinggi dapat berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk para kreator konten untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang inovatif dan menarik, sehingga pendidikan tidak hanya memenuhi kebutuhan, tetapi juga merangsang kreativitas dan pemikiran kritis pada Generasi Z?

Gen Z: Memberi dampak, mandiri finansial

Berdasarkan beberapa laporan Forbes, Gen Z memandang penghasilan adalah penting, tapi tujuan -yakni memberi dampak - adalah kunci (10 Desember 2019).

Selanjutnya pada 2 Maret 2021, media tersebut menyebutkan bahwa 72 persen Gen-Z ingin memiliki bisnis mereka sendiri.

Gen Z adalah Generasi yang lahir antara tahun 1997-2012, atau saat ini berusia 11 hingga 26 tahun yang sangat akrab dengan dunia digital sejak lahir. Pantauan di media sosial, lingkungan kampus, dan keluarga menegaskan pandangan ini.

Putri, sebagai contoh, adalah salah satu perwakilan Gen Z yang berusaha memberikan dampak inspiratif tidak hanya secara nasional, tetapi juga di tingkat internasional, dan membuktikan bahwa keterbatasannya sebagai penyandang disabilitas tidak menghalangi prestasinya di dunia musik.

Perjalanannya, dari sekolah hingga mencapai ketenaran pasti tidak mudah, namun efek sesudahnya baru mengalir begitu mudah: popularitasnya meningkat, karier musik melambung, dan uang-pun mengikuti.

Selain Putri yang sukses dengan ‘jalan ninjanya', ada beberapa contoh lain yang, meski tidak segemerlap Putri, memberikan wawasan tentang bagaimana Gen Z fokus pada beberapa hal kunci.

Contohnya adalah Akeyla Naraya, seorang desainer batik cilik berusia 13 tahun (siswa SMP) dengan 33.000 pengikut di Instagram.

Lalu Cherii Cung, seorang beauty digital influencer (mahasiswa teknik farmasi di salah satu universitas internasional) dengan 17.000 pengikut di TikTok.

Selain itu, Indah Gunawan, seorang kreator konten (lulusan college di Amerika Serikat) yang mempunyai podcast tentang isu-isu terkini termasuk emansipasi dan pemberdayaan perempuan di TikTok dengan lebih dari 110.000 pengikut.

Mereka adalah contoh bagaimana Gen Z berfokus memberikan dampak dan berusaha meraih kemandirian finansial sejak usia remaja.

Menurut literatur akademis, termasuk Conde & Casais (2023), Akeyla dan Cherii tergolong dalam kategori micro influencer dengan 1.000-100.000 pengikut di media sosial. Sementara Indah masuk dalam kategori macro influencer dengan 100.000-1 juta pengikut.

Putri, tentu saja, berada pada kategori mega influencer dengan lebih dari 1 juta pengikut.

Dampak yang dihasilkan oleh para influencer dapat diukur dari prestasi mereka, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Interaksi dengan pengikut dan masyarakat umum pada akun media sosial mereka, serta pengakuan dari pemangku kepentingan, membantu membentuk dampak ini. Dampak ekonomi, seperti pendapatan, juga menjadi salah satu ukuran dari keberhasilan mereka.

Akeyla, misalnya, sudah memiliki pengalaman mengikuti fashion show di berbagai negara dunia dan menjadi nominasi tokoh inspiratif tahun 2018 versi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Cherii dan Indah, di sisi lain, fokus pada interaksi dengan pengikut mereka. Cherii, melalui akun TikTok-nya, mendapatkan respons yang signifikan, sedangkan Indah juga mencatat angka yang mengesankan di platform tersebut.

Kepercayaan dari pemangku kepentingan tercermin pada undangan mereka sebagai pembicara seminar, pemateri pelatihan, atau menjadi endorser produk.

Aktivitas di media sosial dengan banyaknya pengikut juga membuka peluang bagi mereka untuk mendapatkan bayaran dari platform tersebut, menarik minat sponsor, serta menjual produk tertentu lewat plaftorm e-commerce serta media sosial.

Baik Indah dan Cherii mendapat penghasilan dengan berbagai model bisnis tersebut dari aktivitas mereka di media sosial.

Sedangkan Akeyla, dengan batiknya, menjual produk melalui media sosial dan pameran offline, serta menjadi pembicara atau pemberi materi pelatihan sebagai model bisnisnya.

Untuk masa depan, Akeyla ingin meneruskan menjadi desainer batik, Cherii ingin bekerja di bidang teknik farmasi dan terus mengembangkan bisnisnya secara digital.

Sedangkan Indah, yang sudah menjadi kreator konten penuh waktu, akan terus fokus mengembangkan bidangnya.

Dalam interaksi di lingkungan sekitar penulis, beberapa temuan juga mengikuti arah ketiga individu Gen Z.

Beberapa remaja yang baru lulus SD dan baru diizinkan memiliki akun di media sosial, dengan cepat mendapatkan ribuan pengikut karena kemampuan mereka membuat animasi dan melukis, plus beredar di komunitas online game anak-anak dunia.

Mereka lalu mulai penasaran bagaimana cara menjual karya mereka lewat platform media sosial. Tentu saja tiap anak berbeda, namun tampaknya mereka ini menjadi bagian dari Gen Z yang ingin berdampak dan mandiri secara finansial melalui bisnis.

Yang pasti, berbagai upaya yang dilakukan oleh ketiga contoh Gen Z di dunia digital ini tidaklah mudah.

Aktivitas mereka memerlukan usaha nyata untuk mengembangkan kompetensi inti di bidang mereka, menciptakan ide kreatif yang berdampak, mengelola konten, memahami strategi pemasaran digital, mengelola brand & reputasi serta menguasai soft skill seperti konsistensi dan ketekunan dalam merencanakan dan melaksanakan model bisnis offline dan online.

Semua kompetensi ini mungkin sulit dipenuhi melalui pendidikan formal di tingkat menengah seperti sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan.

Peran pendidikan tinggi di era Gen Z

Saat ini, pendidikan tinggi, terutama program S1, berada pada masa bertemu dan mengajar Gen Z yang telah menjadi mahasiswa.

Dalam waktu 8-12 tahun ke depan, mereka akan terus bersama Gen Z sebelum beralih ke Generasi Alpha, yang akan memulai pendidikan S1 dalam 9 tahun ke depan.

Berdasarkan data dari dataindonesia.id, jumlah mahasiswa Indonesia pada 2022 mencapai 9,32 juta, mengalami peningkatan dari 8,96 juta pada 2021. Jumlah ini sekitar 12,4 persen total populasi Gen Z Indonesia yang mencapai 74,93 juta jiwa.

Tantangan tiada henti di dunia pendidikan tinggi saat ini adalah memahami Gen Z sekaligus menyikapi perubahan dunia yang terjadi dengan cepat, mulai dari perkembangan teknologi digital hingga kecerdasan buatan (AI), pandemi, urgensi keberlanjutan, hingga ketidakstabilan dunia dll, atau yang dikenal sebagai era Volatility, Uncertainty, Complexity & Ambiguity (VUCA).

Apakah dengan tantangan yang ada tersebut, dunia Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, harus menyesuaikan diri dengan Gen Z? Jawabannya adalah ya.

Menyesuaikan diri dengan Gen Z menjadi suatu keharusan, karena tidak melakukannya dapat menyebabkan kehilangan peluang untuk melahirkan individu berdampak global, seperti Putri Ariani, dan potensi lainnya dari Gen Z di berbagai tingkatan dampak.

Dua hal kunci bagi Gen Z adalah memberikan dampak dan berusaha mandiri secara finansial sejak remaja. Ini bisa dikembangkan menjadi inovasi oleh dunia pendidikan tinggi agar lulusannya dapat beradaptasi lebih cepat di dunia industri dan usaha.

Menyesuaikan kurikulum dan metode pembelajaran dengan kebutuhan Generasi Z merupakan pilihan logis. Fleksibilitas dalam kurikulum akan membantu mahasiswa Generasi Z menjadi individu yang komprehensif, memenuhi kebutuhan jangka pendek dan panjang mereka.

Secara singkat, pendidikan tinggi memang harus mampu menyiapkan mahasiswa dengan kompetensi inti di bidang tertentu khususnya bidang non - bisnis seperti sains, teknologi, teknik serta ilmu sosial yang diperkaya dengan opsi pengelolaan bisnis, baik secara tradisional maupun digital, serta kemampuan untuk menghasilkan ide kreatif dan memulai wirausaha dalam skala tertentu.

Peningkatan kompetensi dan reputasi dosen juga perlu menjadi perhatian pendidikan tinggi. Dukungan terus-menerus dan fasilitasi untuk dosen menghasilkan inovasi, penemuan baru, atau karya berkualitas di jurnal-jurnal terindeks scopus, menerbitkan buku dan artikel populer adalah langkah positif.

Kemajuan ini perlu dikomunikasikan secara berkala kepada mahasiswa, untuk meningkatkan kepercayaan dari mahasiswa ke pendidikan tinggi selain tingkat kepercayaan yang tumbuh melalui interaksi dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar.

Berkolaborasi dengan komunitas industri dan wirausaha adalah langkah selanjutnya yang tidak dapat dihindari.

Ini perlu dilakukan untuk menjaga relevansi kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia industri dan wirausaha. Kolaborasi bisa melibatkan sesi kuliah tamu, sharing, atau magang bagi mahasiswa di perusahaan dengan standar pencapaian yang disepakati.

Kolaborasi global adalah elemen lain yang penting. Kerja sama kurikulum dapat memudahkan penyesuaian dengan tren dunia, dan pertukaran mahasiswa dapat memberikan pengalaman interaksi dengan dunia internasional untuk membangun kerja sama jangka panjang di tingkat pendidikan tinggi maupun tingkat nasional.

Peluang kerja sama semakin besar, mengingat pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia, yang melebihi rata-rata negara maju. Oleh karena itu, negara maju semakin memperhatikan kerja sama dengan Indonesia, termasuk di bidang Pendidikan.

Elemen digital juga menjadi bagian integral dari pendidikan tinggi saat ini. Pendidikan tinggi dapat berkolaborasi dengan kreator konten untuk membuat proyek bersama mahasiswa dan dosen, sesuai dengan bidang keahlian mereka.

Hal ini bertujuan menciptakan lingkungan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat bagi pendidikan tinggi, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.

Seri sesi berbagi membuat konten digital oleh kreator konten yang merupakan mahasiswa di perguruan tinggi, dipandu seorang dosen pendamping, juga dapat menjadi bentuk magang di perguruan tinggi.

Ini dapat diubah menjadi nilai pembelajaran. Fleksibilitas seperti ini merupakan inovasi yang mungkin disukai oleh Generasi Z.

Penguatan soft skill mahasiswa, seperti keterampilan berkomunikasi melalui interaksi coaching antara dosen dan mahasiswa, serta interaksi antarmahasiswa di dalam dan di luar kelas, adalah aspek penting.

Selain itu, nilai-nilai budi pekerti seperti kejujuran, percaya diri, toleransi, inovasi, kepemimpinan, dan kolaborasi juga harus diperkuat.

Ekspektasi Generasi Z terhadap pendidikan tinggi memang tinggi. Untuk memenuhi ekspektasi tersebut, pendidikan tinggi harus menyediakan lingkungan pembelajaran yang sesuai.

Kegagalan dalam hal ini dapat menyebabkan pendidikan tinggi ditinggalkan oleh Generasi Z. Oleh karena itu, memenuhi ekspektasi ini, entah secara bertahap atau sekaligus, adalah suatu keniscayaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com