Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moch N Kurniawan
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University | Praktisi Kehumasan | Mantan Jurnalis Energi, Lingkungan, Olahraga

Gelisah Dunia Pendidikan Memahami Gen Z

Kompas.com - 06/12/2023, 10:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berdasarkan data dari dataindonesia.id, jumlah mahasiswa Indonesia pada 2022 mencapai 9,32 juta, mengalami peningkatan dari 8,96 juta pada 2021. Jumlah ini sekitar 12,4 persen total populasi Gen Z Indonesia yang mencapai 74,93 juta jiwa.

Tantangan tiada henti di dunia pendidikan tinggi saat ini adalah memahami Gen Z sekaligus menyikapi perubahan dunia yang terjadi dengan cepat, mulai dari perkembangan teknologi digital hingga kecerdasan buatan (AI), pandemi, urgensi keberlanjutan, hingga ketidakstabilan dunia dll, atau yang dikenal sebagai era Volatility, Uncertainty, Complexity & Ambiguity (VUCA).

Apakah dengan tantangan yang ada tersebut, dunia Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, harus menyesuaikan diri dengan Gen Z? Jawabannya adalah ya.

Menyesuaikan diri dengan Gen Z menjadi suatu keharusan, karena tidak melakukannya dapat menyebabkan kehilangan peluang untuk melahirkan individu berdampak global, seperti Putri Ariani, dan potensi lainnya dari Gen Z di berbagai tingkatan dampak.

Dua hal kunci bagi Gen Z adalah memberikan dampak dan berusaha mandiri secara finansial sejak remaja. Ini bisa dikembangkan menjadi inovasi oleh dunia pendidikan tinggi agar lulusannya dapat beradaptasi lebih cepat di dunia industri dan usaha.

Menyesuaikan kurikulum dan metode pembelajaran dengan kebutuhan Generasi Z merupakan pilihan logis. Fleksibilitas dalam kurikulum akan membantu mahasiswa Generasi Z menjadi individu yang komprehensif, memenuhi kebutuhan jangka pendek dan panjang mereka.

Secara singkat, pendidikan tinggi memang harus mampu menyiapkan mahasiswa dengan kompetensi inti di bidang tertentu khususnya bidang non - bisnis seperti sains, teknologi, teknik serta ilmu sosial yang diperkaya dengan opsi pengelolaan bisnis, baik secara tradisional maupun digital, serta kemampuan untuk menghasilkan ide kreatif dan memulai wirausaha dalam skala tertentu.

Peningkatan kompetensi dan reputasi dosen juga perlu menjadi perhatian pendidikan tinggi. Dukungan terus-menerus dan fasilitasi untuk dosen menghasilkan inovasi, penemuan baru, atau karya berkualitas di jurnal-jurnal terindeks scopus, menerbitkan buku dan artikel populer adalah langkah positif.

Kemajuan ini perlu dikomunikasikan secara berkala kepada mahasiswa, untuk meningkatkan kepercayaan dari mahasiswa ke pendidikan tinggi selain tingkat kepercayaan yang tumbuh melalui interaksi dosen dan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar.

Berkolaborasi dengan komunitas industri dan wirausaha adalah langkah selanjutnya yang tidak dapat dihindari.

Ini perlu dilakukan untuk menjaga relevansi kurikulum pendidikan tinggi dengan kebutuhan dunia industri dan wirausaha. Kolaborasi bisa melibatkan sesi kuliah tamu, sharing, atau magang bagi mahasiswa di perusahaan dengan standar pencapaian yang disepakati.

Kolaborasi global adalah elemen lain yang penting. Kerja sama kurikulum dapat memudahkan penyesuaian dengan tren dunia, dan pertukaran mahasiswa dapat memberikan pengalaman interaksi dengan dunia internasional untuk membangun kerja sama jangka panjang di tingkat pendidikan tinggi maupun tingkat nasional.

Peluang kerja sama semakin besar, mengingat pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara, terutama Indonesia, yang melebihi rata-rata negara maju. Oleh karena itu, negara maju semakin memperhatikan kerja sama dengan Indonesia, termasuk di bidang Pendidikan.

Elemen digital juga menjadi bagian integral dari pendidikan tinggi saat ini. Pendidikan tinggi dapat berkolaborasi dengan kreator konten untuk membuat proyek bersama mahasiswa dan dosen, sesuai dengan bidang keahlian mereka.

Hal ini bertujuan menciptakan lingkungan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat bagi pendidikan tinggi, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.

Seri sesi berbagi membuat konten digital oleh kreator konten yang merupakan mahasiswa di perguruan tinggi, dipandu seorang dosen pendamping, juga dapat menjadi bentuk magang di perguruan tinggi.

Ini dapat diubah menjadi nilai pembelajaran. Fleksibilitas seperti ini merupakan inovasi yang mungkin disukai oleh Generasi Z.

Penguatan soft skill mahasiswa, seperti keterampilan berkomunikasi melalui interaksi coaching antara dosen dan mahasiswa, serta interaksi antarmahasiswa di dalam dan di luar kelas, adalah aspek penting.

Selain itu, nilai-nilai budi pekerti seperti kejujuran, percaya diri, toleransi, inovasi, kepemimpinan, dan kolaborasi juga harus diperkuat.

Ekspektasi Generasi Z terhadap pendidikan tinggi memang tinggi. Untuk memenuhi ekspektasi tersebut, pendidikan tinggi harus menyediakan lingkungan pembelajaran yang sesuai.

Kegagalan dalam hal ini dapat menyebabkan pendidikan tinggi ditinggalkan oleh Generasi Z. Oleh karena itu, memenuhi ekspektasi ini, entah secara bertahap atau sekaligus, adalah suatu keniscayaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com