Peringkat membaca siswa Indonesia di dunia memang belum bisa dikatakan baik. Sudah delapan kali Indonesia mengikuti tes PISA sejak 2000, ketika tes itu dilaksanakan pertama kali. Rangking membaca siswa Indonesia duduk di peringkat 10 terbawah.
Tentu saja, banyak faktor yang menentukan. Namun, alangkah baiknya seperti pemerintah Swedia yang mengambil langkah berani kembali ke model tradisional.
Menggiatkan kembali pemakaian buku cetak dan tulis tangan di tingkat sekolah dasar perlu dipertimbangkan sebagai solusi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa sejak pendidikan dasar.
Cara-cara mengajar membaca dengan model tradisional perlu dilirik kembali. Dulu zaman kurikulum CBSA, tidak ada siswa SD kelas 3 yang belum bisa membaca. Aib, pada zaman itu.
Bahkan guru-guru juga mengharuskan murid menghafalkan perkalian hingga seratus. Sementara saat ini, banyak siswa tidak tau cara menjumlah dan mengali angka puluhan jika tidak menggunakan kalkulator dan gadget.
Daya nalar dan berpikir kritis makin berkurang karena semua mengandalkan teknologi dan kecerdasan buatan. Manusia menjadi malas untuk belajar.
Langkah berani dan melawan arus pemerintah Swedia patut diapresiasi. Mereka memilih jalan yang tidak biasa menyelamatkan generasi muda.
Pemerintah Swedia meyakini bahwa kembali ke model pelajaran tradisional bukan hal tabu dan memalukan ketimbang mengambil risiko generasi muda mereka semakin berkurang daya nalar dan kritisnya akibat pendangkalan karena ketergantungan terhadap teknologi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.