Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM: Waspadai Cuaca Ekstrem agar Bisa Redam Dampak Negatifnya

Kompas.com - 27/04/2023, 19:32 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Hampir semua wilayah Indonesia mengalamai cuaca ekstrem belakangan ini.

Bahkan, Stasiun Meteorologi BMKG Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memprediksi dari 27 – 29 April 2023, Kota Jogja dan wilayah lainnya di DIY berpotensi dilanda cuaca ekstrem.

Selain diguyur hujan deras, cuaca ekstrem yang berpotensi terjadi berupa angin kencang dan petir.

Baca juga: Guru Besar UGM: Ini 2 Faktor Masyarakat Masih Percaya Dukun

Penyebab cuaca ekstrem ini adalah Sirkulasi Siklonik di Samudera Hindia Barat Sumatra yang membentuk daerah pertemuan dan perlambatan kecepatan angin atau konvergensi yang terpantau memanjang melewati pulau Jawa.

Lantas apa kata pakar soal cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini?

Menurut Pakar Iklim dan Bencana dari UGM Dr. Emilya Nurjani, cuaca ekstrem adalah kejadian fenomena alam yang tidak normal dan tidak lazim.

Itu ditandai dengan kondisi curah hujan, arah dan kecepatan angin, suhu udara, kelembaban udara, dan jarak pandang yang dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta.

Salah satu contoh cuaca ekstrem adalah siklon yang menimbulkan angin kencang dan hujan lebat.

Contoh di tahun 2012 adalah suhu udara yang tinggi sebesar 40 derajat Celcius di Larantuka Flores Timur.

Emilya menuturkan ada banyak faktor yang memmengaruhi munculnya cuaca ekstrem.

Bergantung pada cuaca ekstrem seperti apa yang dimaksud, jika menyangkut penyebab hujan ekstrem atau hujan dengan intensitas di atas 100 mm/jam, maka hal itu disebabkan oleh karena tingginya kelembapan. Adanya gangguan atmosfer, seperti badai musim dingin, front hangat atau dingin, siklon tropis.

"Kondisi udara hangat mengandung lebih banyak kelembapan apapun kelembapan salah satu faktor yang dapat menyebabkan hujan lebat. Lingkungan yang hangat secara langsung dapat berpotensi membentuk kejadian hujan ekstrem yang lebih sering," kata dia mengutip laman UGM, Kamis (27/4/2023).

Namun jika menyangkut soal suhu panas atau cuaca panas, kata Emilya, bisa jadi disebabkan oleh mulai memasuki musim panas/kemarau yang dipengaruhi oleh monsun, serta posisi matahari yang disebabkan oleh gerak semu matahari (ekuinoks).

Bisa juga adanya gelombang panas yang ditandai pusat tekanan tinggi yang terhambat masa udara di bagian lebih rendah.

Emilya menuturkan cuaca dan iklim global dipengaruhi oleh atmosfer, hidrosfer, biosfer dan geosfer.

Terjadinya perubahan yang ada di muka bumi ataupun yang jauh dari Bumi akan memengaruhi sistem iklim.

Sebagai contoh faktor dari luar Bumi, yaitu jarak Bumi dan matahari. Jarak Bumi dan matahari yang jauh atau dekat akan memengaruhi iklim di Bumi, bentuk lintasan Bumi terhadap matahari (membulat atau elips) juga akan memengaruhi iklim di Bumi.

Baca juga: 10 Kampus Punya Jurusan Matematika Terbaik di Indonesia, UPI Nomor 1

"Penemuan mesin uap tahun 1.750 mendorong penggunaan bahan bakar fosil yang meningkatkan gas rumah kaca dan suhu permukaan bumi. Jika kita berdiri di daerah perkotaan yang padat permukiman atau di daerah hutan kota maka akan sangat merasakan suhu udara yang berbeda, artinya perbedaan penutup lahan atau penggunaan lahan akan menimbulkan efek yang berbeda terhadap suhu yang dirasakan oleh manusia," ungkapnya.

Emilya menegaskan kembali perubahan klim yang dialami saat ini diakui atau tidak karena salah satunya disebabkan perubahan tutupan lahan atau berkurangnya lahan terbuka.

Dia mengaku pula telah banyak solusi yang ditawarkan pemerintah baik berupa regulasi ataupun aksi nyata di masyarakat.

Meski begitu, hal itu masih memerlukan dukungan seluruh masyarakat.

Tidak hanya masyarakat Indonesia tetapi juga masyarakat dunia terutama menyangkut soal untuk mitigasi atau antisipasi dampak yang mungkin terjadi.

Beberapa yang bisa dilakukan adalah melakukan pengurangan penggunaan bahan bakar dari fosil. Termasuk bahan bakar fosil untuk sektor transportasi, energi maupun industri.

"Sistem pertanian pun diharapkan yang ramah lingkungan, yaitu rendah emosi karbon, minim penggunaan air, dan senantiasa membiasakan menanam karena itu memberi pengaruh," ucap dia.

Baca juga: Apakah Lulusan PKN STAN Langsung Diangkat Jadi CPNS? Ini Penjelasannya

Emilya berpandangan mengantisipasi cuaca ekstrem memang harus dilakukan.

Karena, selain berdampak pada sektor ekonomi, cuaca ekstrem ini juga menimbulkan kerusakan lain bangunan, sarana prasarana, ataupun kendaraan.

"Padahal jika bisa mengantisipasi dan mengatasi terlebih jika tidak ada kerusakan maka dana yang ada bisa dialokasikan untuk sektor atau pembangunan yang lain," tukas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com