Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nurul Fitri
Guru

Guru Matematika di Aisyiyah Boarding School (ABS) Bandung

Membaca Buku Fisik atau Digital, Mana yang Lebih Asyik?

Kompas.com - 10/06/2022, 13:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu agenda rutin setiap bulan keluarga kecil saya adalah bertamu ke toko buku. Ada hal yang terkadang saya dan suami obrolkan ketika sepulang dari toko buku, yaitu semakin 'mundur' rak yang berisi buku dan tergantikan dengan barang lain seperti tas, aksesori sampai alat musik.

Akhirnya, terlontarlah kelakar 'buku semakin tertindas'.

Awalnya, rak buku pindah ke belakang, lama-lama satu lantai habis oleh barang yang bukan buku. Musababnya, barangkali karena menurunnya minat membeli buku.

Kekhawatiran pun muncul: kalau sekarang saja rak buku semakin bergeser ke belakang, bagaimana nanti saat anak saya tumbuh dewasa? Semoga tidak hanya menyisakan satu lantai.

Dunia perbukuan memang tak akan tergantikan oleh teknologi, karena teknologi tidak akan bisa menggantikan penulis. Namun, persoalan buku yang dicetak lain cerita.

Sekarang, melalui mesin pencari, informasi apa pun dapat diperoleh asalkan dengan kata kunci yang tepat. Buku, artikel, jurnal penelitian, bahkan video pembelajaran dapat diakses dengan mudah.

Pandemi menjadi salah satu faktor yang mengakselerasi lesunya minat membeli buku.

Salah satu teman yang bekerja di penerbit buku bercerita bahwa penjualan buku di perusahaannya terus menurun sehingga efisiensi karyawan tidak dapat dihindari.

Selain itu, sejak pandemi saya sering melihat status whatsApp teman yang menawarkan e-book novel, buku Islami, dan lain-lain. Tak ada buku, e-book pun jadi, begitulah kira-kira.

Sebetulnya, bila bahan bacaan beralih ke media digital tidaklah menjadi soal. Apalagi, teknologi memang ada untuk mempermudah kehidupan kita. Yang terpenting budaya literasi tetap berlangsung.

Yang jadi soal itu jika bahan bacaan yang dicetak tidak dibaca, sementara bahan bacaan digital tak disentuh. Inilah letak masalahnya. Padahal pembahasan pentingnya literasi berserakan di internet.

Literasi. Ya masalah ini memang cukup pelik. Berdasarkan PISA pada 2018, kemampuan literasi Indonesia masih rendah dengan skor membaca peringkat 73 dari 79 negara. Sungguh miris kita berada pada peringkat 6 terakhir.

Apalagi, menurut UNESCO bahwa minat baca Indonesia sangat rendah yaitu 0.001 persen. Jadi tidak heran jika dunia perbukuan belum jelas masa depannya.

Kendati begitu, syukurlah, belakangan ini pemerintah sudah memberikan perhatian lebih untuk meningkatkan budaya literasi.

Yang sedang naik daun belakangan ini di bidang pendidikan, yaitu AKM (Asesmen Kompetensi Minimum).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com