Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membaca Buku Fisik atau Digital, Mana yang Lebih Asyik?

Akhirnya, terlontarlah kelakar 'buku semakin tertindas'.

Awalnya, rak buku pindah ke belakang, lama-lama satu lantai habis oleh barang yang bukan buku. Musababnya, barangkali karena menurunnya minat membeli buku.

Kekhawatiran pun muncul: kalau sekarang saja rak buku semakin bergeser ke belakang, bagaimana nanti saat anak saya tumbuh dewasa? Semoga tidak hanya menyisakan satu lantai.

Dunia perbukuan memang tak akan tergantikan oleh teknologi, karena teknologi tidak akan bisa menggantikan penulis. Namun, persoalan buku yang dicetak lain cerita.

Sekarang, melalui mesin pencari, informasi apa pun dapat diperoleh asalkan dengan kata kunci yang tepat. Buku, artikel, jurnal penelitian, bahkan video pembelajaran dapat diakses dengan mudah.

Pandemi menjadi salah satu faktor yang mengakselerasi lesunya minat membeli buku.

Salah satu teman yang bekerja di penerbit buku bercerita bahwa penjualan buku di perusahaannya terus menurun sehingga efisiensi karyawan tidak dapat dihindari.

Selain itu, sejak pandemi saya sering melihat status whatsApp teman yang menawarkan e-book novel, buku Islami, dan lain-lain. Tak ada buku, e-book pun jadi, begitulah kira-kira.

Sebetulnya, bila bahan bacaan beralih ke media digital tidaklah menjadi soal. Apalagi, teknologi memang ada untuk mempermudah kehidupan kita. Yang terpenting budaya literasi tetap berlangsung.

Yang jadi soal itu jika bahan bacaan yang dicetak tidak dibaca, sementara bahan bacaan digital tak disentuh. Inilah letak masalahnya. Padahal pembahasan pentingnya literasi berserakan di internet.

Literasi. Ya masalah ini memang cukup pelik. Berdasarkan PISA pada 2018, kemampuan literasi Indonesia masih rendah dengan skor membaca peringkat 73 dari 79 negara. Sungguh miris kita berada pada peringkat 6 terakhir.

Apalagi, menurut UNESCO bahwa minat baca Indonesia sangat rendah yaitu 0.001 persen. Jadi tidak heran jika dunia perbukuan belum jelas masa depannya.

Kendati begitu, syukurlah, belakangan ini pemerintah sudah memberikan perhatian lebih untuk meningkatkan budaya literasi.

Yang sedang naik daun belakangan ini di bidang pendidikan, yaitu AKM (Asesmen Kompetensi Minimum).

Latar belakang program tersebut dijalankan karena rendahnya kemampuan literasi siswa Indonesia berdasarkan hasil PISA. Belum lagi program literasi sekolah yang mulai digalakkan di sekolah negeri maupun swasta.

Tak hanya pemerintah, komunitas penggiat literasi turut serta. Komunitas tersebut turut aktif menyebarkan virus literasi di daerahnya masing-masing.

Seperti desa literasi, menggagas rumah baca, dan pendistribusian buku ke tempat terpencil dan lain-lain.

Ya, memang butuh usaha keras dan kerjasama semua pihak untuk menebarkan virus membaca ini.

Kenapa masalah literasi ini selalu berkaitan dengan buku, padahal literasi tidak sebatas buku? Jawabannya, tentu untuk membiasakan membaca lebih baik dimulai dari buku.

Selain itu, tidak akan ada dusta dari sebuah buku. Istilah hoax itu sepertinya tidak mungkin tersemat pada isi buku. Kenapa? Karena jika ada hoax di dalamnya tamat sudah riwayat penulis dan penerbitnya.

Belum lagi pembuatan sebuah buku itu butuh proses yang panjang. Riset, penulisan, editing, pencetakan, hingga akhirnya bisa sampai pada pembaca membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Jika sudah terbiasa membaca, rasa-rasanya beropini pun isinya tak kosong. Benteng terhadap berita hoax akan kuat serta menjadi netizen yang budiman.

Karena seorang pembaca tidak tertarik berkomentar pada hal yang belum jelas kebenarannya.

Buku, nasibmu berbanding terbalik dengan manfaatmu. Berkaca pada sejarah, akses belajar dan buku tidak mudah.

Tetapi banyak orang berusaha untuk mendapatkannya. Sekarang, mendapatkan buku sangat mudah, baik buku fisik maupun elektronik.

Tidak punya uang membeli buku original, buku bajakan pun banyak. Eits, bukan berarti boleh beli buku bajakan, ya.

Kalau mau gratis, ya tinggal pergi ke perpustakaan. Pertanyaannya, mau atau tidak membaca di perpustakaan?

Saya bercita-cita menjadikan anak saya sebagai seorang pembaca. Salah satunya dengan mengenalkan buku pada anak sejak balita, tentunya melalui buku fisik.

Buku fisik masih menjadi pilihan, karena selain dapat mengeksplor indera perasa juga mengindari screen time anak.

Sebagai penunjang hal tersebut, seperti sudah saya singgung bahwa mengunjungi toko buku menjadi agenda rutin.

Urusan membeli atau tidak, itu urusan nanti, menyesuaikan dengan kondisi finansial. Yang terpenting, jikapun membeli, yang dibeli buku original.

Bagi saya, membaca melalui buku cetak masih menjadi pilihan. Terasa kurang afdal jika membaca tidak dari buku.

Kenikmatan membaca buku itu dengan memegang bukunya, membolak balik halaman, mencorat-coret, melipat sebagai ciri halaman baru dibaca, bahkan menjadi teman tidur.

Sedangkan, jika dalam bentuk elektronik terkadang saya hanya men-download dan di-save saja di handphone, tapi lupa untuk membacanya.

Ya, mungkin saya terkesan pembaca dari generasi old. Tapi kenyataannya, memang seperti itu, sangat nikmat sekali apabila saya sedang mempelajari buku matematika kemudian saya corat coret isinya. Dan hal tersebut tidak bisa dilakukan pada buku elektronik.

Seiring perkembangan anak saya yang semakin kritis, ada sedikit penyesalan yang saya rasakan. Mengapa dulu ketika belum punya anak hanya membaca sekadarnya.

Apalagi, yang dibaca pun tak jauh-jauh dari buku pelajaran sekolah. Maklum, saya bekerja sebagai guru matematika di sekolah swasta di Bandung.

Sekarang, ketika ingin membaca, baik membaca buku (fisik) maupun membaca dari gadget saya sering diinterupsi oleh anak-anak.

Jadi, siapa pun yang punya waktu luang, gunakanlah untuk membaca. Tak punya waktu luang pun usahakanlah untuk membaca meski hanya satu jam.

https://www.kompas.com/edu/read/2022/06/10/134650871/membaca-buku-fisik-atau-digital-mana-yang-lebih-asyik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke