Oleh: Riska Umami Lia Sari, Raja Oloan Tumanggor, dan P Tommy YS Suyasa
KOMPAS.com - Wabah Covid-19 yang melanda dunia membuat lembaga pendidikan melakukan strategi alternatif untuk mencegah penyebaran Covid-19 yakni melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Hal ini merupakan hal baru bagi siswa, dan perubahan terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya kesiapan yang matang yang berdampak siswa mengalami kesulitan dalam melakukan PJJ.
Kesulitan yang di alami siswa dapat menjadi salah satu pemicu burnout pada siswa.
Istilah burnout pertama kali dikemukakan Herbert J Freudenberger dan terus berkembang dari waktu ke waktu.
Burnout merupakan sindrom kelelahan yang terdiri dari tiga jenis perasaan yang dialami oleh individu yang memiliki rutinitas yang sama dan dilakukan secara terus menerus (Maslach et al., 2018).
Burnout yang terjadi pada siswa atau yang disebut sebagai student burnout merupakan perasaan lelah yang dialami siswa karena adanya tuntutan belajar, bersikap sinis dan munculnya perasaan tidak kompeten sebagai siswa akibat ketidakpeduliaan siswa terhadap pelajaran (Schaufeli et al., 2002).
Bagaimana cara mengenali student burnout?
Baca juga: Bangga, Siswa Indonesia Ukir Prestasi 4 Medali Olimpiade Informatika Internasional
Menurut (Maslach & Leiter, 2008) ada tiga ciri yang perlu diketahui baik oleh guru maupun siswa dalam mengenali student burnout.
Ciri pertama berupa kondisi lelah secara emosional (emotional exhaustion).
Siswa yang mengalami kelelahan emosional akan ditandai dengan timbulnya perasaan tidak puas terhadap kondisi yang ada, meningkatnya sensitivitas siswa terhadap apa yang dikatakan oleh guru, teman, maupun orangtua.
Perkataan yang sebenarnya bermaksud/bernada netral, dipersepsikan sebagai sesuatu yang menyinggung perasaan dan bahkan bisa menimbulkan kemarahan siswa.
Ciri kedua berupa sikap sinis (cynicism).
Saat siswa mengalami kondisi burnout, perilaku yang timbul, yaitu siswa menjadi menjauhkan diri, membuat jarak, tidak peduli dengan lingkungan sekitar, tidak menanggapi dengan baik saat disapa orang lain, tampak tidak ingin banyak berbicara.
Siswa menjadi tampak kurang peka terhadap perasaan atau emosi orang lain.
Ciri lainnya yaitu turunnya keyakinan pada siswa untuk menyelesaikan tugas/pekerjaan (reversed professional efficacy).
Dalam kondisi burnout, akibat dari kondisi kelelahan emosional yang dialami, siswa menjadi kurang bersemangat dalam mengerjakan tugas.
Perasaan antusias dan keyakinan-diri siswa untuk menyelesaikan tugas menjadi menurun. Siswa menjadi tampak kurang memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya.
Menurut (Leiter & Maslach, 2009) ada enam faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya burnout diantaranya work overload, a lack of control, insufficient reward, unfairness, breakdown of community, dan value conflict.
Lalu, apa yang bisa kita usahakan untuk mengatasi gejala burnout pada siswa?
Setidaknya ada empat yang bisa kita (ibu/bapak guru beserta siswa) untuk mengurangi / mengantisipasi burnout, yaitu: