Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM Tanggapi Kebijakan Luhut Terkait Work From Bali

Kompas.com - 27/05/2021, 18:20 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, tengah merencanakan program work from Bali (WFB) bagi aparatur sipil negara (ASN) di Kemenko Bidang Kemaritiman dan tujuh kementerian atau lembaga lainnya.

Work from Bali ini kemudian diketahui dicanangkan untuk mendorong pemulihan ekonomi pariwisata di Bali.

Baca juga: Guru Besar UGM: Usut Tuntas Bocornya Data 279 Juta Penduduk Indonesia

Program Luhut langsung ditanggapi oleh Pakar Kebijakan Publik dan Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol UGM, Wahyudi Kumorotomo.

Dia mengimbau pemerintah untuk lebih mengutamakan program yang mempunyai semangat anggaran anggaran.

Dia mengingatkan, anggaran yang dikeluarkan untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terus mengalami pelonjakan.

Anggaran PEN bersadarkan komitmen stimulus dengan UU No. 2 Tahun 2020 yang semula sebesar Rp 450,1 triliun telah meningkat menjadi Rp 677,2 triliun.

Bahkan, pada tahun 2021, volume pembiayaan sudah menginjak angka Rp 971,2 triliun.

Tentu menjadi hal yang positif ketika pemerintah Indonesia merekomendasikan untuk mencegah peningkatan angka pengangguran dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Namun, ketika di sisi lain penerimaan negara yang diketahui masih tergolong lemah.

Maka hal tersebut menjadi sangat penting dalam pengambilan kebijakan.

Baca juga: Pakar Unpad: Tak Hanya Kurang Nutrisi, Anemia Bisa Gejala Penyakit

"Dengan tingkat penerimaan negara yang masih lemah, seharusnya aparat pemerintah tetap berhemat," ucap Wahyudi melansir laman UGM, Kamis (27/5/2021).

Dua kelemahan

Lanjut Wahyudi menilai, program work from Bali memiliki beberapa titik kelemahan.

Pertama, kebijakan work from Bali jelas memboroskan anggaran belanja negara oleh aparatur sendiri.

Hal ini kemudian dapat dikatakan menunjukkan teladan yang kurang baik kepada masyarakat luas.

Kedua, meskipun work from Bali dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat, tapi berkumpulnya banyak orang di objek-objek wisata tetap berisiko penularan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com