Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BMKG: Aktivitas Gempa Bumi Meningkat 11.000 Kali

Kompas.com - 20/07/2020, 10:34 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

Sumber ugm.ac.id

KOMPAS.com - Sejak tahun 2018 hingga sekarang, aktivitas gempa bumi disebut meningkat hingga lebih dari 11.000 kali setiap tahunnya.

Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Prof. Dwikorita Karnawati dalam webinar yang diselenggarakan Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) bertajuk Sistem Pemantauan Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami, Jumat (17/7/2020).

Dwikorita mengatakan, frekuensi kejadian gempa bumi setiap tahun terus semakin meningkat.

Bila sebelum tahun 2016 rata-rata kejadian 4.000 sampai 5.000 kali, meningkat sekitar 7.000 kali pada satu tahun kemudian.

Baca juga: Pendaftaran Jalur Mandiri UGM Dibuka Hari Ini, Simak Cara Daftar

"Sejak 2018 hingga sekarang meningkat hingga lebih dari 11.000 kali setiap tahunnya," kata Dwikorita yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM.

Peningkatan aktivitas gempa ini menurutnya belum diketahui penyebabnya dan masih terus diteliti oleh pakar terkait aktivitas pergeseran lempeng bumi ini.

“Untuk menganalisis ini perlu kajian mendalam. Apakah ini tren pengulangan atau memang ada peningkatan sehingga perlu dievaluasi dengan dukungan data dengan kerja sama banyak pihak,” kata Dwikorita seperti dirangkum dari laman UGM, Senin (20/7/2020).

Dwikorita mengatakan, peningkatan aktivitas tektonik ini bisa saja terpengaruh oleh perubahan iklim dan sebagainya.

Baca juga: Pendaftaran KIP Kuliah Jalur Mandiri PTS Dibuka, Ini Link dan Cara Daftar

Peningkatan aktivitas gempa di tanah air ini, lanjut dia, sudah dilaporkan ke Presiden.

Salah satu langkah yang dilakukan oleh BMKG adalah meminimalkan risiko bencana akibat gempa bumi dan bencana tsunami.

Namun, alat deteksi tsunami yang dimiliki sekarang ini dinilainya sudah tidak layak pakai lagi karena sudah melampaui batas kemampuan kerja alat maksimal 10 tahun.

Selain alat yang sudah tua, Dwikorita menyebut kemampuan alat deteksi tsunami ini menurutnya juga tidak sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan oleh BMKG.

"Alat yang ada sekarang ini hanya mendeteksi gempa akibat aktivitas tektonik, namun bila terjadi aktivitas vulkanik seperti kejadian longsor di bawah laut justru tidak terdeteksi," imbuh dia.

Baca juga: Peneliti IPB Temukan Obat Herbal Penurun Asam Urat

Menurutnya, kejadian tsunami di Banten beberapa waktu lalu akibat erupsi Gunung Krakatau menjadi pelajaran berharga bagi BMKG untuk memasang alat deteksi tsunami tidak hanya pada kejadian gempa tektonik, namun juga kejadian nontektonik.

“Teknologi yang ada sampai hari ini didesain berdasarkan bencana tsunami di Aceh yang diakibatkan kejadian gempa tektonik, namun untuk kejadian gempa nontektonik, sistem itu tidak dirancang,” katanya.

Guna mengembangkan peralatan Earthquake Early Warning System atau pengembangan sistem peringatan dini gempa bumi, pihaknya tengah bekerja sama dengan BPPT, ITB dan beberapa lembaga lainnya dalam Rencananya sensor alat deteksi gempa ini dipasang di jalur megatrust.

“Sebarannya mengikuti megatrust sekitar 400-an sensor yang diperlukan,” katanya.

Baca juga: Kampus Terbaik di Australia Buka Beasiswa S1-S2 Senilai Rp 250 Juta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com