Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/06/2020, 16:18 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Penulis: Galang Aji Putro | Penerbit KPG

KOMPAS.com - Orang Indonesia ternyata lebih jujur mengakui adanya praktik politik uang dibandingkan dengan orang di negara-negara lain. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa jual beli suara dalam pemilu di Indonesia memang bukan tabu.

Demikian salah satu kesimpulan penting dalam diskusi webinar buku "Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru" (KPG, 2020) karya Burhanuddin Muhtadi yang diselenggarakan Kepustakaan Populer Gramedia pada 19 Mei 2020.

Bertindak sebagai pembahas adalah Budiman Sudjatmiko, politisi PDI-Perjuangan dan Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, serta Ace Hasan Syadzily, Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari Partai Golkar.

Buku "Kuasa Uang" menjelaskan gelombang politik uang semakin menjadi-jadi setelah Orde Baru runtuh pada 1998, terutama setelah sistem proporsional terbuka diterapkan pada 2009.

Perubahan sistem kelembagaan dan sistem pemilu membuat caleg harus menghasilkan personal votes melalui ketokohan pribadinya ketimbang lewat kampanye berbasis partai.

Baca juga: Hari Buku: Menolak Tamat Ketika Roda Penerbitan Terhalang Covid-19

Dalam Pemilu Legislatif 2014, misalnya, sebanyak 25 persen pemilih di Indonesia terpapar politik uang ketika ditanya secara langsung. Sebanyak 27,4 persen mengaku menerima uang atau barang dan 28,9 persen mengaku lingkungan tempat mereka tinggal menjadi target operasi jual beli suara.

“Jumlah pemilih dalam negeri yang terdaftar pada Pemilu Legislatif 2014 sebanyak 187 juta. Dengan kisaran antara 25 persen dan 33 persen, berarti sekitar 47 juta hingga 62 juta pemilih ditawari uang atau keuntungan materiel lainnya sebagai imbalan atas suara yang mereka berikan,” ujar Burhanuddin.

Salah sasaran

Dalam sistem pemilu proporsional terbuka selama ini, kandidat dari satu partai harus bersaing dengan rekan separtai, sekaligus dengan kandidat dari partai lain.

Mereka harus memperebutkan suara loyalis partisan yang jumlahnya sangat terbatas. Maka, pembelian suara biasanya terjadi di kalangan pemilih yang belum menentukan pilihannya.

Kandidat kemudian menjangkau calon pemilih melalui koneksi pribadi tim sukses. Segmen inilah yang disebut Burhanuddin sebagai “loyalis pribadi”.

Pada proses ini, kandidat sering kali menganggap orang-orang semacam itu sebagai loyalis, padahal sebenarnya mereka tidak terlalu punya loyalitas dan komitmen kepada sang kandidat.

“Meskipun politisi cenderung menargetkan konstituen yang mereka anggap pasti loyal, kebanyakan tim sukses akhirnya mendistribusikan insentif materiel kepada pemilih yang menerima uang, tetapi tidak membalas dengan suara,” ujar Burhanuddin.

Dapat dikatakan, usaha para kandidat dan tim sukses untuk mendapatkan pemilih melalui jual beli suara sebenarnya meleset. Proses ini juga rentan terhadap perilaku predatoris tim sukses. Mereka menilap sebagian distribusi yang diberikan oleh kandidat untuk kepentingan pribadi.

Mengubah sistem pemilu

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com