Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Kasus Remaja Pembunuh Sadis, Ini Saran Akademisi Unair

Kompas.com - 13/03/2020, 14:18 WIB
Ayunda Pininta Kasih,
Yohanes Enggar Harususilo

Tim Redaksi

Sumber UNAIR News

KOMPAS.com - Media audio visual seperti film maupun video tampaknya begitu lekat di kehidupan anak yang tumbuh di era Industri 4.0.

Sayangnya, di samping hadir sebagai media pembelajaran yang efektif, tontonan yang keliru justru berpotensi timbulkan dampak negatif bagi perilaku anak.

Salah satu kasus yang belum lama terjadi dan menjadi perbincangan ialah seorang remaja yang membunuh anak usia 5 tahun dengan alasan karena terinspirasi film.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus seperti dikutip dari Kompas.com, mengatakan tersangka kerap menonton film bergenre horor dan kriminal yang menampilkan sadisme.

Salah satu film yang disebutnya adalah Chucky yang populer di era 80-an, berkisah tentang boneka pembunuh.

Baca juga: Tanamkan Budi Pekerti, Bacakan 5 Dongeng Tradisional ini Sejak Dini

Menanggapi kasus tersebut, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Nisa Kurnia Illahiah memberikan tanggapannya dari segi perfilman.

Dosen mengampu mata kuliah Media Budaya dan Masyarakat Urban itu mengatakan, ada dua faktor yang bisa memengaruhi sang remaja melakukan tindakan tersebut, yang terbagi atas faktor utama dan faktor penguat.

Faktor utama ialah psikologis pelaku, kondisi keluarga dan lingkungan. Sedangkan faktor faktor penguat ialah adegan film, di mana film menunjang tindakan dengan memberikan gambaran bagaimana cara membunuh atau eksekusinya.

"Di sini saya melihat bahwa film itu sebagai media penguat, bukan alasan utama," jelas Nisa dalam laman resmi Unair News, Kamis (13/3/2020).

Baca juga: 3 Syarat Pendidikan Karakter Berjalan Efektif

Sehingga, lanjut Nisa, tidak "match" bila orangtua, guru, atau bahkan masyarakat menyalahkan film sebagai faktor tunggal terjadinya pembunuhan. Sebaliknya, faktor utama ada pada psikologis pelaku, kondisi keluarga dan lingkungan.

Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi antara orangtua dan guru untuk memberikan edukasi terkait dengan tontonan anak. Termasuk pemerintah dalam menghadirkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi sekarang.

"Selain peran orangtua, saya juga berharap pemerintah turut andil dalam memperketat lembaga sensor dan memasukkan studi media sebagai kurikulum baru bagi anak di Sekolah Dasar," saran Nisa.

Nisa berpendapat, studi media sangat penting untuk memberikan bekal sejak dini agar anak tidak salah menginterpretasikan pesan yang disampaikan lewat film atau tayangan di TV lainnya.

Tiga tahap hingga anak menduplikasi tontonan

Nisa tak menampik jika film dapat memberikan pengaruh terhadap pola pikir dan perilaku anak. Namun, film tak akan bisa langsung memengaruhi perilaku anak saat itu juga, melainkan melalui tiga tahapan untuk sampai pada tahap replika duplikasi (anak meniru adegan film), yakni:

  1. Pengetahuan, berupa gambaran tentang cara-cara suatu tindakan.
  2. Sikap, yaitu latar belakang pelaku yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, keluarga, agama, dan lingkungan.
  3. Perilaku, yaitu tindakan meniru adegan di film yang memperhatikan konteks ruang dan waktu.

"Jika pelaku mempunyai background pengetahuan agama yang kuat, kondisi keluarga dan lingkungan yang baik dan penuh perhatian, serta tidak memiliki gangguan kejiwaan, maka efek film itu hanya berhenti pada tahap sikap, sehingga tahap perilaku berupa pembunuhan itu tidak akan terjadi," jelasnya.

Baca juga: Usia Berapa Anak Siap Berangkat Sekolah Sendiri?

Nisa juga menerangkan bahwa tidak ada kriteria khusus dalam pemilihan film yang cocok untuk ditonton anak-anak. Pasalnya, tayangan kartun pun banyak yang memperlihatkan adegan kekerasan dan bullying.

"Terpenting adalah kontrol pengawasan dan penjelasan kepada anak-anak. Apalagi mengingat bahwa usia anak-anak masih susah untuk membedakan realita imajinasi dan kenyataan, serta memiliki kecenderungan meniru yang besar," saran Nisa.

Keluarga sebagai sekolah utama anak

Pakar Psikologi Keluarga dan Kesehatan Mental Unair Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes. menambahkan, kurang harmonisnya komunikasi antara anak dengan orang tua juga diyakini menjadi faktor utama anak melakukan tindakan menyakiti, seperti bullying atau kejahatan.

Nurul menjelaskan, dasar pembentukan kepribadian anak ditentukan pada umur lima tahun pertama. Kebutuhan yang tidak terpenuhi pada usia awal tersebut menyebabkan anak membutuhkan kebutuhan afeksi yang sangat kuat.

"Kurangnya kasih sayang, sentuhan, dekapan, ataupun berbagai hal yang memang sangat diperlukan untuk anak-anak untuk membangun dasar-dasar kepribadian yang sangat penting untuk membentuk kepercayaan kepada orang lain bahwa dunia ini adalah dunia yang menyenangkan, damai, dan aman untuk ditinggali," ujarnya.

Banyak pihak yang menyimpulkan bahwa kasus pembunuhan anak oleh remaja 15 tahun itu adalah kasus psikopat.

Menurut Nurul, penyimpulan kasus seperti ini tidak bisa gegabah untuk disimpulkan bahwa subjek adalah psikopat, karena dibutuhkan assessment yang mendalam dan valid, sehingga tidak menimbulkan stigma negatif dari masyarakat.

Baca juga: 15 Bentuk Kerjasama Guru dan Orangtua agar Anak Berkarakter Positif

"Dengan labeling stigma negatif yang ditujukan untuk anak ini akan dapat membunuh masa depan anak," tambahnya.

Nurul mengungkapkan bahwa semua kejadian seperti itu basisnya pada keluarga. Karena keluarga merupakan sekolah yang pertama dan utama untuk anak.

Sehingga keluarga, khususnya orangtua dan pengasuh, perlu membekali diri dengan banyak ilmu, mulai dari ilmu parenting, karakter, hingga media.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com