Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Belajar dari Kehebohan Seragam Sekolah Baru 2024 Pasca-Lebaran

ENTAH siapa yang memulai dan dari mana sumbernya, mendadak kaca kunci pencarian "aturan seragam sekolah baru 2024" nangkring di pencarian Google atau menjadi Google Trends posisi ke-8 di hari libur Lebaran, Jumat, 12 April 2024.

Menilisik lini waktu menggunakan pencarian kata kunci yang sama di Google, beberapa media daring arus utama atau mainstream menggunakan kata kunci tersebut dalam judul artikel mereka.

Sebagai gambaran, saat tulisan ini (15/4/2024) dibuat, berikut bagaimana media arus utama mengambil kata kunci ini:

  • TVOneNews.com mengambil judul "Aturan Seragam Sekolah Baru 2024 dari Kemendikbud, Intip Jenis Pakaian Dikenakan dari Tingkat SD, SMP, dan SMA" (12/4/2024, Pk 23:04 WIB).
  • Liputan6.com: "Aturan Seragam Sekolah Baru 2024 oleh Kemendikbudristek, Jenjang SD Hingga SMA" (14/4/2024, Pk 13:45 WIB).
  • CNBC: "Heboh Aturan Seragam Sekolah Baru 2024, Ini Ketentuan Nadiem"
  • Pikiran Rakyat: Inilah Aturan Seragam Sekolah Baru Untuk SD, SMP, SMA Tahun 2024 Dari Kemendikbud"
  • Medcom.id: "Heboh Nadiem Makarim Buat Aturan Seragam Sekolah Baru 2024, Bagaimana Ketentuannya?"

Beberapa media daring di daerah bahkan memilih judul agak "seram" macam Palopos.co.id: "Pengumuman! Siap-siap, Ganti Seragam Sekolah Habis Lebaran, Ini Aturan Baru Menteri Nadiem!" (12/4/2024, Pk. 06:23 WIB).

Atau judul artikel KlikPendidikan.id yang bisa membuat jantung "emak-emak" ketar-ketir: "Besok! Jadwal Masuk Sekolah Pasca Lebaran 2024, Sudah Punya Seragam Baru? Cek Dulu Peraturan Nadiem Makarim" (15/4/2024, Pk.08.55 WIB).

Apalagi jika kita bergeser sedikit ke media sosial.

Sebut saja di Instagram dengan pencarian hastag #SeragamSekolahBaru" memunculkan berbagai judul postingan lebih berani macam; "Mendikbud Telah Resmikan Seragam Sekolah Baru", "Setelah Pramuka Tidak Diwajibkan Sekarang Seragam Sekolah Diubah", atau "Nadiem Makarim Siapkan Aturan Seragam Sekolah Baru Secara Nasional".

Bisa jadi bukan saja Mas Menteri Nadiem yang sedikit terganggu libur Lebarannya karena banyak di-mention. Emak-emak minim literasi yang hanya membaca judul media sosial akan berkomentar: Apaan lagi sih ini, masak baru beli baju baru Lebaran, harus beli seragam baru lagi? :)

Misinformasi atau kesengajaan?

Pastinya kehebohan dan keviralan terkait "aturan seragam sekolah baru" ini adalah misinformasi. Beberapa media arus utama telah melakukan klarifikasi atas berbagai kesimpangsiuran berita di atas.

Kemendikbud pun telah melakukan klarifikasi tentang isu ini di berbagai platform. Tenang, emak-emak tidak harus kembali menyisihkan sisa THR untuk membeli seragam baru,

Namun, ada hal menarik yang dapat dicermati dari kehebohan di tengah libur Lebaran tahun ini.

Dalam artikel media-media mainstream yang ikut mengambil keriuhan pencarian Google tersebut, memiliki isi atau konten hampir sama: mengutip Permendikbudristek No. 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Catat: Permendikbud No.50 Tahun 2022. Yak betul, tahun 2022!

Hampir seluruhnya mencantumkan hal ini diikuti penjelasan lengkap tentang jenis seragam, aturan penggunaan, hingga sanksi untuk jenis pelanggaran.

Jika yang dikutip adalah Permendikbud tahun 2022, kenapa kemudian latah bersama membuatkan judul dan menyematkan kata kunci "Aturan Seragam Sekolah Baru 2024"?

Jika mengacu frase "aturan seragam sekolah baru", hal mana yang baru atau diperbarui?

Menjadi pertanyaan kritis kita bersama: apakah ini ketidaksengajaan? Ketidaksadaran? Ketidaktahuan? Menggampangkan? Atau ingin mengejar keterbacaan (page view) dan abai pada kebenaran?  

Mengejar page view atau kredibilitas?

Di era banjir informasi, terdapat tantangan yang dihadapi media daring, yaitu mengejar target pembaca (page views/PV) dengan tetap menjalankan kaidah jurnalistik.

Di satu sisi untuk eksistensi, media daring dituntut menarik perhatian pembaca sebanyak mungkin. Hal ini melahirkan godaan untuk memproduksi konten sensasional, dan bahkan, tidak terverifikasi atau (dalam kasus ini) menyembunyikan kebenarannya.

Konten seperti ini memang mampu menarik banyak pembaca apalagi di-boosting pencarian alogaritma Google untuk ditemukan banyak pembaca. 

Namun pastinya mengorbankan kredibilitas dan kualitas jurnalistik.

Di sisi lain, media daring juga memiliki tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat, berimbang, dan objektif. Prinsip-prinsip jurnalistik ini penting untuk membangun kepercayaan publik dan memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dilema ini semakin kompleks dengan adanya algoritma pencarian dan media sosial yang memprioritaskan konten yang banyak dibagikan dan disukai. Hal ini mendorong ada media memproduksi konten viral, meskipun tidak berkualitas jurnalistik.

Menjawab dilema ini tidaklah mudah. Media daring perlu menemukan keseimbangan antara mengejar target pembaca dan menjalankan kaidah jurnalistik.

Salah satu solusinya adalah dengan memproduksi konten berkualitas tinggi dan informatif, serta menerapkan standar jurnalistik ketat. Media daring juga perlu edukasi publik tentang pentingnya literasi media dan konsumsi informasi bertanggung jawab.

Transformasi ke media sosial

Belum selesai dengan persoalan PV (jumlah pembaca), media dihadapkan pada tantangan lain di mana sebagian besar pembacanya beralih atau berhenti mencari informasi di media sosial mulai dari Instagram, Tiktok, Youtube, atau X.

Transformasi kali ini rasanya jauh lebih dahsyat dan menantang dibandingkan transisi dari era cetak ke dotcom.

Persoalannya, hegemoni informasi kini tidak lagi semata menjadi privilege media yang dulu memiliki akses-akses khusus terhadap sumber informasi. Saat ini menjadi era di mana setiap orang bisa membuat konten.

Belum lagi bicara soal model bisnis media. Meski saat ini pembacanya sudah bergeser ke media sosial, namun duitnya belum mengikuti ke sana.

Kalau toh iya, media memperoleh porsi potongan kue yang tidak lagi sebesar dulu, berbagi dengan kreator konten dan pemengaruh atau influencer.

Lepas dari berbagai berbagai tantangan berat tersebut, ada harapan baru bagi media saat ini: menjadi suar kebenaran di tengah tsunami informasi.

Tidak semua kreator konten dan influencer menjalankan kerja, kaidah, dan etika jurnalistik. Media, jurnalis, wartawan, terpanggil mengabdi untuk menjalankannya.

Inilah yang menjadi pembeda. Inilah yang menjadi keunggulan. Inilah yang menjadi eksistensi media di platform mana pun dan perubahan zaman apa pun: menjadi verifikator dan penjaga kebenaran lewat kerja-kerja jurnalistik.

Rasanya Lebaran kali ini bukan hanya menjadi panggilan keimanan untuk kita fitrah, namun juga menjadi pengingat bagi media untuk juga fitrah pada panggilan dan keutamaan sebagai pencari kebenaran, bukan pembenaran. Selamat Idul Fitri.  

https://www.kompas.com/edu/read/2024/04/16/152901171/belajar-dari-kehebohan-seragam-sekolah-baru-2024-pasca-lebaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke