Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bukan Prevensi, Saatnya Mitigasi Perundungan

Pada sisi lain, kisah nyata yang getir menunjukkan bahwa dewasa ini mencegah telah bergeser posisinya. Begini:

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) beberapa kali diundang oleh orangtua maupun sekolah dengan maksud khusus: berbincang tentang kasus perundungan terkait pencegahan dalam konteks yang lain.

Pihak pengundang tersebut gelisah luar biasa karena peristiwa perundungan antarsiswa di sekolah putra-putri mereka telah sampai ke kantor polisi. Dan kantor polisi dimaksud telah mulai melakukan pemanggilan sekaligus pemeriksaan para saksi.

“Kami harus bagaimana?" tanya orangtua maupun perwakilan sekolah.

Dalam situasi sedemikian rupa, pencegahan menjadi sangat penting. Namun bukan pencegahan sebelum terjadinya perundungan (prevensi).

Pencegahan yang saya maksud adalah upaya pascakejadian guna mencegah agar eskalasi situasinya tidak semakin memburuk. Istilahnya, mitigasi.

Mitigasi dibutuhkan agar relasi antarmurid, antarkeluarga, serta antara sekolah dan keluarga tidak bertambah semakin panas.

Pada satu sisi, munculnya para orangtua yang melaporkan pengalaman perundungan putra-putri mereka ke kantor polisi dapat ditafsirkan sebagai tanda telah terbangunnya resiliensi.

Artinya, semakin banyak orangtua dan anak-anak mereka yang kini menyikapi perundungan sebagai masalah serius. Dan ketika itu terjadi pada diri putra-putri mereka, para orangtua itu memilih jalur hukum—alih-alih main hakim sendiri—guna memulihkan hak korban.

Namun pada sisi lain, kesadaran sedemikian rupa berpotensi menambah panjang deret kasus yang harus ditangani oleh polisi. Apalagi polisi tahu persis bahwa mereka tidak boleh menolak laporan masyarakat.

Penolakan polisi terhadap laporan publik, termasuk perundungan dapat berkonsekuensi serius bagi personel polisi dan satuan wilayah kerjanya.

Beberapa catatan yang kami peroleh dari penanganan kasus-kasus perundungan di sekolah, adalah sebagai berikut.

Pertama, bertambahnya berkas perundungan di kantor polisi tidak serta-merta mudah untuk ditangani. Kurangnya atau lemahnya alat bukti merupakan faktor utamanya.

Ini tak terhindarkan karena pada sekian banyak kasus perundungan yang dilaporkan ke kepolisian dan dikonsultasikan ke LPAI, peristiwa yang disebut sebagai perundungan itu berskala minor.

Kedua, saat antarkeluarga berseteru karena anak dari salah satu keluarga tersebut telah menjadi korban perundungan teman sekolahnya, di lapangan anak-anak tersebut justru terus saling bermain seperti tidak ada kejadian apa pun yang merisaukan ayah bunda mereka.

Ada pula situasi unik. Yakni, pascadilaporkan ke polisi, pelaku menjauhi korban. Korban kemudian mengeluh ke gurunya, bahkan ada pula yang bertanya langsung ke pelaku, “Kenapa temanku tak mau lagi bermain denganku?”

Meski kalimat yang terucap itu sangat sederhana, namun tergambar kompleksitas situasi di seputar perundungan. Bahwa, anak-anak tidak menganggap masalah mereka seberat seperti yang orangtua mereka persepsikan.

Bukan gesekan fisik yang mereka persoalkan, namun justru betapa mereka seolah menjadi bermusuhan akibat penyikapan yang dilakukan orangtua. Juga, betapa kuatnya keinginan anak-anak untuk saling bermaafan dan menata kembali pertemanan mereka.

Setiap peristiwa perundungan perlu disikapi sesuai bobot situasinya masing-masing. Tidak bisa sekadar dipukul rata.

Namun gambaran situasi di atas memperlihatkan bahwa dibutuhkan langkah mitigasi yang tepat agar beban anak-anak yang terlibat tidak justru semakin berat.

Lebih-lebih ketika kasus perundungan telah sampai di meja kepolisian, langkah mitigasi tetap perlu diupayakan secara maksimal.

Dan langkah-langkah mitigasi itulah yang sekian banyak orangtua dan sekolah belakangan ini semakin gencar ingin mereka ketahui setelah terjadinya aksi perundungan.

Pihak-pihak tersebut mengundang LPAI bukan lagi untuk bicara tentang pencegahan berupa prevensi (sebelum peristiwa) perundungan, melainkan untuk memberikan pencerahan pascakejadian agar situasi tidak semakin berat untuk mereka hadapi.

Tentu, tidak ada yang keliru bila orangtua memutuskan membawa masalah perundungan anak mereka ke ranah pidana anak di kepolisian.

Keputusan sedemikian rupa boleh jadi dilatarbelakangi kombinasi antara pemahaman yang lebih baik dan perasaan gundah orangtua atas kejadian yang dialami oleh putra putri mereka.

Kunci keberhasilan mitigasi yang LPAI ikhtiarkan adalah mencoba menenangkan semua pihak dengan mengajak curhat seputar konsideran UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

Ada tiga hal yang kami tekankan. Pertama, dalam situasi apa pun, anak tetap harus dipandang sebagai insan yang memiliki masa depan, dan kewajiban semua pihak untuk mendampingi anak-anak ke masa depan mereka.

Kedua, penanganan anak harus sedapat mungkin bersih dari unsur balas dendam. Ketiga, manfaat positif yang dapat diraih adalah apabila semua pihak bersepakat menempuh keadilan restoratif (restorative justice) sebagai jalan keluar.

Terkait butir ketiga ini, LPAI mengingatkan semua pihak bahwa restorative justice pada kenyataannya telah dipraktikkan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam. Bahkan sebelum nusantara ini bernama Indonesia.

Namun anehnya, masyarakat justru sering merasa asing dengan mekanisme alternatif penyelesaian pertikaian tersebut.

Setelah tahap penenangan dan curhat itu dilalui, LPAI beranjak ke tahap kedua. Yaitu, menjelaskan pasal-pasal UU SPPA kepada semua pihak. Tidak semua pasal dan tidak pula menggunakan kosakata formal.

Maksud tahap ini adalah mengedukasi sekolah dan orangtua agar tidak terhantui oleh ketidakpahaman mereka akan proses kerja penegakan hukum.

Dari situ, para pihak biasanya akan mulai berpikir secara lebih jernih. Orangtua menjadi lebih berempati pada cara berpikir anak-anak mereka sendiri.

Sekaligus, setelah sadar bahwa anak-anak bukan miniatur orang dewasa, ayah bunda tersadarkan pula betapa proses hukum yang ingin mereka tempuh boleh jadi berbeda jauh dengan ekspektasi mereka.

Sebagai tambahan, LPAI mendorong sekolah untuk secepatnya menyusun hal-hal yang boleh dan tidak boleh terkait perundungan berikut sanksi yang dikenakan, lalu mengomunikasikannya ke seluruh orangtua murid.

Akan sangat baik, saran LPAI, apabila orangtua menandatangani kesepakatan tentang ketentuan tersebut sejak mendaftarkan anak-anak mereka menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Ini bukan mitigasi, melainkan salah satu langkah preventif, bahkan preemtif.

Dengan pendekatan yang lebih terarah pada mitigasi, LPAI menyaksikan sinyal-sinyal positif bagaimana keluarga dan sekolah kini memiliki resiliensi yang lebih positif dalam menyikapi peristiwa perundungan.

Keikutsertaan LPAI dalam penanganan kasus-kasus tersebut juga mendorong otoritas penegakan hukum bekerja lebih bersemangat dengan memenuhi azas-azas profesionalisme dan akuntabilitas.

https://www.kompas.com/edu/read/2024/01/25/153331971/bukan-prevensi-saatnya-mitigasi-perundungan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke