Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Webinar IPB: 2 Bentuk Pelecehan Seksual Ini Sering Disepelekan

KOMPAS.com - Isu kekerasan seksual di lingkungan kampus sudah berhembus sejak dulu. Belakangan ini, isu kekerasan seksual di kampus jadi topik perbincangan hangat setelah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan Permendikbud 30 tahun 2021.

Dengan adanya Permendikbud 30 tentang Pencegahan, Penanganan Kekerasa Seksual (PPKS) di perguruan tinggi ini bisa menjadi payung hukum dan menindak siapa saja yang punya niat dan akan melakukan kekerasan seksual.

Masih berkaitan dengan kekerasan seksual di kampus, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar edukasi dengan tema serupa.

Sebagai salah satu bentuk keamanan kampus, sangat penting bagi semua akademisi memahami bentuk dari kekerasan seksual dan perundungan serta cara menghadapinya.

Bentuk kekerasan seksual

Dekan FPIK IPB Fredinan Yulianda mengatakan, harus dibangun sistem interaksi yang aman dan kondusif. Dia juga menegaskan, potensi yang mengarah pada penyimpangan dalam proses interaksi sebisa mungkin dicegah.

"Dengan demikian, kegiatan akademik bisa berjalan maksimal sesuai dengan tujuannya," terang Fredinan Yulianda seperti dikutip dari laman IPB, Jumat (19/11/2021).

Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut Nuran Abdat. Dia menyampaikan, kekerasan seksual bisa berupa beberapa tindakan, seperti ucapan, isyarat, fisik, visual, tindakan fisik maupun secara psikologis atau mental.

"Pelecehan seksual bisa dilakukan oleh siapapun dan kepada siapapun. Catcalling adalah salah satu pelecehan seksual secara verbal," papar Nuran Abdat yang merupakan psikolog dari RS Ummi Bogor.

Kekerasan seksual kerap dianggap sepele

Nuran mengungkapkan, kekerasan atau pelecehan seksual dan perundungan terus ada di masyarakat karena kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat.

Nuran menambahkan, tindakan yang tergolong pelecehan seksual justru kerap dianggap sepele karena sudah menjadi kebiasaan umum. Padahal korban yang mendapat perlakuan tersebut merasa tidak nyaman.

"Tak jarang korban justru dianggap berlebihan dalam menanggapi perlakuan yang sebetulnya memang sudah digolongkan dalam pelecehan seksual," tandas Nuran.

Terutama jika pelecehan hanya dilakukan dalam bentuk verbal atau isyarat. Kemudian pelaku seringkali berlindung di balik kata hanya bergurau saat melakukan tindakan tersebut.

Pembiaran membuat korban tak berdaya

Nuran menjelaskan, permisifisme atau pembiaran masyarakat inilah yang membuat para korban menjadi semakin tidak berdaya.

Pada beberapa kasus, korban pelecehan seksual tidak dapat berkutik saat kejadian. Hal tersebut disebabkan karena korban mengalami syok sehingga gerak motoriknya menjadi terhambat dan menyebabkan korban menjadi freeze.

Dalam kondisi ini maka dibutuhkan peran aktif dari saksi untuk memberikan bantuan. Nuran Abdat menekankan pentingnya memahami batasan sehat dalam lingkungan.

Apabila batasan tersebut dilanggar, lanjut Nuran, maka seorang individu harus yakin untuk mengatakan penolakan maupun perlawanan dengan tegas.

"Pemahaman tentang batasan sehat akan dimiliki melalui edukasi. Sehingga penting untuk melakukan edukasi kepada orang-orang yang disayang agar terhindar dari kekerasan seksual," tegas Nuran.

Lawan kekerasan seksual dengan 5D

Selain itu, Nuran Abdat juga memberi langkah-langkah yang bisa dilakukan oleh para saksi untuk menolong korban kekerasan seksual atau pun perundungan.

Langkah tersebut terangkum dalam 5D yang terdiri dari:

1. Direct: menegur langsung pelaku dengan sikap yang jelas dan tegas.

2. Distract: segera memindahkan korban kepada aktivitas lain untuk menghindari pelaku.

3. Delegate: mencari bantuan kepada pihak ketiga yang dianggap lebih mampu menghentikan situasi yang terjadi.

4. Delay: dilakukan dengan menunggu hingga keadaan lebih kondusif, kemudian berbicara kepada korban mengenai kejadian yang menimpanya.

5. Document: saksi mengupayakan untuk mendokumentasikan kejadian. Dokumentasi ini dapat berupa rekaman suara, video, maupun foto sebagai bukti telah terjadinya kekerasan seksual.

"Untuk institusi pendidikan, dapat mengambil langkah berupa penyediaan konselor serta perangkat aturan serta hukum yang tegas kepada para pelaku kekerasan seksual," tutup Nuran Abdat.

https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/19/131600871/webinar-ipb--2-bentuk-pelecehan-seksual-ini-sering-disepelekan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke