Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesenjangan Pendidikan Kedokteran Indonesia, Panas Setahun Dihapus Hujan Sehari?

PRO dan kontra ujian nasional dalam Pendidikan Kedokteran tidak sederhana. Pendidikan kedokteran sangat kompleks.

Sebelum ujian nasional terselenggara, adalah proses 6 tahun pendidikan kedokteran itu sendiri, yang didahului dengan admisi mahasiswa, dan diawali dengan pembukaan program studi pendidikan dokter.

Prolog

Indonesia menempati peringkat ke-4 populasi terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Di AS, jumlah dokter praktik mencapai 800.000an, fakultas kedokteran mencapai 200an.

Di Indonesia, jumlah dokter praktik 100.000an, sedangkan idealnya 300.000 dokter (1 dokter/1.000 pasien), fakultas kedokteran ada 90. Lulusan dokter di Indonesia 7.000/tahun namun tidak semuanya praktik.

Dokter puskesmas yang praktik: 11.000 Puskesmas x 2 orang (rata-rata) sedangkan 1.000 Puskesmas tidak memiliki dokter. Ditambah dokter praktik mandiri, maka total dokter praktik umum maksimal 50.000an.

Dokter spesialis yang praktik jauh lebih sedikit karena pada kenyataannya hanya 20 persen dari lulusan dokter mencapai gelar spesialis (karena berbagai faktor). Pemerintah dihadapkan pada dilema: jumlah dan distribusi dokter untuk 272 juta penduduk Indonesia, versus kualitas dokter.

Masalah kebutuhan jumlah dokter ini, memberikan celah bagi pembukaan program studi kedokteran di Indonesia. Ketika keran kuantitas dibuka sebesar-besarnya, maka demi keselamatan pasien, keran kualitas harus diperketat.

Namun, apakah diperketatnya hanya di akhir pendidikan dokter melalui sebuah ujian nasional? Panas setahun dihapus hujan sehari? Dimulai dari output-nya, maka proses, dan input juga perlu dijaga kualitasnya.

Upaya menjaga kualitas pendidikan kedokteran telah terjadi dua dekade terakhir. Standar Kompetensi Dokter Indonesia dirumuskan pertama kali di 2007, diperbaharui setiap 5 tahun, diikuti Uji Kompetensi Dokter Indonesia di akhir masa pendidikan dokter (UKMPPD).

Selain itu, proses akreditasi institusi dan wahana pendidikan dokter (rumah sakit dan Puskesmas) juga dilakukan secara periodik. Perlu diapresiasi bersama bahwa Indonesia telah berhasil menepis anggapan sebagai negara yang gegabah dalam mendidik dokter (tulisan LamTai Pong di 2009 di jurnal Academic Medicine tentang reformasi pendidikan kedokteran di Asia).

Namun, perlu diakui bahwa kita memang jarang menelaah ‘proses’ pendidikan dokter yaitu perjalanan seorang mahasiswa kedokteran untuk memenuhi kompetensinya.

Di dalam proses inilah sebenarnya dokter yang kita idam-idamkan akan terwujud. "Kita adalah yang apa yang kita lakukan. Keberhasilan bukan sebuah aksi, melainkan kebiasaan” (Aristoteles).

Akuntabilitas sosial

Prinsip socio-accountability of medical schools dari WHO (1995) dikemukakan oleh Boelen dan Heck: fakultas kedokteran bertanggung jawab mengarahkan proses pendidikan, riset, dan pelayanan kesehatan, untuk kepentingan komunitas, regional, dan nasional.

Prioritas pelayanan kesehatan dirumuskan bersama berbagai pemangku kepentingan. Mengingat kondisi geografis dan budaya di seluruh Indonesia, memungkinkan profil lulusan, visi, misi, dan kurikulum pendidikan dokter sangat bervariasi, meskipun standar kompetensi nasional telah diatur dalam per-Konsil.

Setiap fakultas kedokteran dapat ‘memainkan’ perannya secara kreatif dalam menghasilkan dokter-dokter yang terbaik.

Kesenjangan dalam pendidikan dokter

Kemampuan calon dokter perlu dipertanggungjawabkan kepada publik. Selama ini Indonesia melakukannya dalam bentuk ujian nasional. Sedangkan salah satu cara penilaian yang berkelanjutan adalah berbasis portfolio.Portfolio merupakan kumpulan karya mahasiswa, umpan balik dari dosen pembimbing, serta rencana belajar yang disusun bersama mahasiswa dan dosen.

Portfolio atau rekam jejak belajar ini juga dapat dianalogikan seperti rekam medis pasien dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan riwayat kesehatan yang diobservasi secara teratur, maka dokter yang secara berkala bertemu pasien, dapat melakukan upaya pencegahan semaksimal mungkin terhadap komplikasi masalah kesehatan, bersama pasien.

Portfolio juga sebaiknya diobservasi secara berkala oleh dosen pembimbing dan bersama dengan mahasiswa, merencanakan strategi belajar ke depan.

Portfolio menggambarkan riwayat belajar seorang calon dokter selama menempuh pendidikan dokter, hingga dipandang layak atau tidak untuk menjalankan profesi dokter.

Siapa yang memutuskan layak atau tidak? Pertama adalah pemilik portfolio sendiri. Ia seharusnya mengevaluasi portfolionya secara teratur dan merenungkannya apakah ia layak melayani masyarakat?

Di mana kelebihannya? Bagaimana upayanya memperbaiki kekurangannya? Penentu selanjutnya adalah ‘user’.

Pengguna pendidikan dokter dalam hal ini termasuk wakil masyarakat, pemerintah daerah, dan Kementrian Kesehatan.

Kemudian portfolio juga dievaluasi oleh pihak ‘pamong’ mahasiswa sendiri yaitu dosen pembimbing, Ketua Program Studi, dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Menilai portfolio

Prinsip pendidikan kedokteran mengarah kepada hasil akhir lulusan dokter yang diidam-idamkan dunia: the five star doctors, dokter yang terampil, berjiwa sosial, dan pembelajar mandiri.

"Belajar sepanjang hayat" memiliki makna dokter yang terbaik, bukan yang terpandai, namun yang paling reflektif. Dokter yang reflektif terus memperbaiki kemampuannya dan terus memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik dan up-to-date bagi masyarakat.

“Print it for your children.” Demikian nasehat seorang fotografer. ‘Print’ / cetak, atau lihat (online) foto-foto dan dialoglah bersama anak secara periodik.

‘Belajar’ memerlukan proses refleksi (Ki Hadjar Dewantara: ‘Merenung dengan Penuh Keinsyafan’). Proses ini memerlukan interaksi sosial (Albert Bandura - Teori Social Constructivism).

Dalam setiap refleksi, mahasiswa membutuhkan dosen pembimbing secara berkala bersama-sama melihat keseluruhan rangkaian pengalaman belajar, di mana banyak hal untuk diambil hikmahnya dan dipelajari lebih lanjut.

Bukan sekadar mengalir dengan mengandalkan kebetulan atau keberuntungan di ujian akhir semata.

Sama seperti hubungan dokter-pasien, proses mentoring ini tentu terdapat bagian yang bersifat rahasia atau confidential antara mentor-mentee. Sehingga tidak semua hal diunggah dalam portfolio.

Terdapat upaya panggulawenthah, membina dan mengolah karakter mahasiswa di dalamnya. Kemudian disertai renungan yang memadai, sebuah portfolio dapat membantu mahasiswa menentukan karir sebagai dokter praktisi, spesialis, peneliti, dosen, atau lainnya.

Portfolio juga membantu dosen dan pengelola program studi untuk memutuskan menerima atau menolak mahasiswa, memberikan kesempatan remedial ulang, bahkan meluluskan mahasiswa dan menyatakan bahwa mahasiswa ini layak menyandang gelar: Dokter.

Setiap data-point dalam portfolio dapat diilustrasikan sesuai tujuan pembelajaran (misal 7 area kompetensi dokter), sehingga memudahkan para pemangku kepentingan untuk mengambil keputusan dalam sebuah sistem informasi asesmen berbasis outcome (outcome-based assessment/OBA).

Bagaimana menilai portfolio 7.000 lulusan dokter per tahun? Sesuai kurva normal OBA yang seringkali ditunjukkan dalam bagan berbentuk radar atau jaring laba-laba, hanya 5 persen dari jumlah mahasiswa yang berada dalam kelompok ekstrem.

Ekstrem kanan yang nilainya melebihi target kompetensi, memudahkan keputusan lulus. Ekstrim kiri 2,5 persen atau 175 siswa, yang nilainya kurang, perlu dipelajari dengan seksama.

Sehingga, sebuah panitia nasional portfolio pendidikan kedokteran memungkinkan untuk menilai ribuan calon dokter, secara berjenjang, mulai dari program studi, institusi pendidikan dokter, sampai kepada panitia nasional.

Sehingga, high-stakes assessment tidak harus selalu diartikan dalam bentuk ujian nasional dalam 1 hari (assessment of learning). Di akhir pendidikan dokter, dapat dilakukan high-stakes decision berdasarkan seluruh agregat data-point portfolio.

Pengumpulan data dimulai dari seluruh aktivitas belajar mahasiswa, termasuk juga nilai-nilai ujian semester, tengah semester, bahkan nasional. Sehingga portfolio bukan meniadakan semua sistem penilaian yang ada, justru memprogram menjadi kumpulan data-point yang bermanfaat untuk proses belajar siswa ataupun pengambilan keputusan (assessment for learning sesuai prinsip dari ‘Programmatic Assessment’ (Veluten dkk, 2012 Programmatic Assessment Fit for Purpose).

Dengan asesmen yang terprogram dan berkelanjutan, niscaya tidak ada mahasiswa yang diabaikan. Di era pandemik, dosen juga tidak perlu kawatir dengan ujian jarak jauh, karena rekam jejak belajar berkelanjutan sangat membantu memutuskan kelayakan calon dokter.

Kunci portfolio: apresiasi

Banyak bukti penelitian ilmiah menunjukkan bahwa pola asah, asih, asuh yang terbaik, mengantarkan seorang anak menjadi seorang dewasa berdaya dan mandiri. Selama ini untuk memenuhi tridarma pendidikan, dosen di fakultas kedokteran menyusun kurikulum dan merencanakan ujian, dengan jumlah jam kerja, insentif, dan kum yang cukup besar.

Anggaran fakultas kedokteran dikerahkan demi tujuan ‘memberikan informasi’ kemudian ‘menilai’ mahasiswa terhadap yang telah dipelajari. Pertanyaanya: Berapa lama waktu dosen didedikasikan untuk berdialog, memberikan umpan balik atas refleksi mahasiswa?

Mahasiswa yang pandai pun sangat cemas menjelang ujian nasional. Hasil evaluasi tim uji kompetensi nasional 2020 membuktikan bahwa mahasiswa memilih ikut bimbingan ujian.

Mengapa bimbingan ujian menjadi sangat penting, dibandingkan dengan bimbingan selama pendidikan dokter?

Bila hanya ujian nasional yang menentukan kelulusan seorang mahasiswa, maka masalah terletak pada proses pendidikannya. Angka atau huruf adalah umpan balik yang terburuk karena tidak menarasikan kekuatan mahasiswa atau area yang dapat diperbaikinya.

Upaya untuk mewujudkan rekam jejak belajar mahasiswa berkelanjutan melalui portfolio memerlukan komitmen mendasar dari seluruh komponen pendidik dokter, yaitu dedikasi waktu untuk umpan balik yang membangun.

Baku emas dalam memberikan umpan balik adalah apresiasi. Sebelum memberikan informasi, dengarkan dahulu evaluasi diri mahasiswa, berikan apresiasi, dan bertanyalah.

Keterampilan dasar soft-skills yang sulit dilakukan ini adalah kunci keberhasilan mentorship, berdasarkan prinsip pembelajaran berpusat pada mahasiswa (student-centered learning).

Pada akhirnya proses dialogis yang terjadi selama pendidikan dokter seperti ditekankan dalam portfolio, akan menghantarkan dokter untuk bersikap dialogis dalam melayani pasien, terutama dalam pengambilan keputusan klinis yang melibatkan pasien (patient-centred care).

Apa kiranya yang menghambat proses dialog refleksi-umpan balik mahasiswa-dosen di Indonesia? Indonesia memiliki budaya hirarkis kental - menerima perbedaan sosial, termasuk perbedaan status sosial dokter-pasien, guru-murid (https://www.hofstede-insights.com/product/compare-countries/).

Murid takut, guru mengarahkan. Takut-Kewajiban-Rasa Bersalah (fear-obligation-guilty/ FOG) atau Wedi-Isin-Sungkan juga ditemukan oleh Profesor Geert Clifford dalam penelitian antropologisnya tentang masyarakat Jawa, hampir 75 tahun lalu.

Bagaimana meminimalisasi kesenjangan sosial ini? Adalah melalui kesetaraan dan dialog dua arah atau mentorship, yang ditekankan dalam pelaksanaan portfolio.

Epilog

Menteri Pendidikan Republik Indonesia pertama mendirikan rangkaian sekolah mulai ‘Taman Kanak-Kanak’ hingga ‘Taman Wiyata’. Taman dianalogikan berisi bunga-bunga yang diharapkan mekar dengan indahnya.

‘Bunga-bunga’ ini hanya berkembang bila para ‘pamong’ membina dan mengolah karakter siswa (KHD, 1930) sehingga anak-didik - sesuai sifat individu yang unik - menjadi manusia ‘unggul dan utuh’ (Presiden Joko Widodo, 2021).

Bukankah sebenarnya penemu ‘student-centered learning’ adalah Ki Hadjar Dewantara dari Indonesia? Mengapa tidak diakui dunia? Karena banyak dari kita sendiri tidak tahu atau peduli ‘Tut Wuri Handayani’ sebagai motto pendidikan di Indonesia yang memiliki arti yang sangat dalam.

‘Tut Wuri’ digambarkan KHD sebagai sikap seorang ‘emban’ yang menjaga seorang anak belajar berjalan, mendukungnya, memotivasinya, agar tidak jatuh atau melukai dirinya sendiri, dan kelak bisa berlari (‘Handaya’).

Prinsip ‘Tut Wuri Handayani’ ini justru banyak diterapkan di pendidikan kedokteran di negara barat. Seandainya saja KHD menggunakan istilah ‘Student-centred learning’ dan bukan Among-Metode’, mungkin kita lebih mudah memahaminya.

Ataukah karena kita menganggap pemikiran KHD ‘tidak terjangkau’, padahal beliau sendiri menanggalkan gelar kebangsawanannya agar dekat dengan rakyat? Apa yang membuat KHD, memilih keluar dari sekolah dokter STOVIA lalu mendedikasikan hidupnya di bidang pendidikan? (*Mora Claramita, Guru Besar dan Ketua Departemen Pendidikan Kedokteran, Profesi Kesehatan, dan Bioetika Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Fullbright Senior Scholar 2014)

https://www.kompas.com/edu/read/2021/11/01/074451471/kesenjangan-pendidikan-kedokteran-indonesia-panas-setahun-dihapus-hujan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke