Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Psikolog: Ini Alasan Banyak Remaja Jadi Pelaku Kekerasan Seksual Anak

KOMPAS.com – Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melalui Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 menemukan angka korban serta pelaku kekerasan seksual anak yang cukup mengkhawatirkan pada 2019.

Komnas Perempuan masih menemukan adanya pelaku kekerasan seksual anak di bawah usia 18 tahun selama 3 tahun berturut-turut.

"Jika dibagi dengan pendiduk usia yang sama, 7 anak per 1 juta usia anak kurang dari 18 tahun berpotensi menjadi pelaku per tahun. Dengan kaya lain setiap hari rata-rata dua anak menjadi pelaku kekerasan," tulis Komnas Perempuan dalam CATAHU 2020.

Berikut ini merupakan rangkuman dari jumlah korban dan pelaku kekerasan seksual anak menurut CATAHU 2020.

1. Korban kekerasan seksual dalam ranah personal (perkawinan, rumah tangga, dan hubungan).

  • Usia di bawah 5 tahun: 129 kasus
  • Usia 6 – 12 tahun: 653 kasus
  • Usia 13 – 18 tahun: 2.262 kasus

2. Pelaku kekerasan seksual dalam ranah personal (perkawinan, rumah tangga, dan hubungan).

  • Usia 6 – 12 tahun: 83 kasus
  • Usia 13 – 18 tahun: 652 kasus

3. Korban kekerasan seksual dalam ranah komunitas.

  • Usia di bawah 5 tahun: 24 kasus
  • Usia 6 – 12 tahun: 289 kasus
  • Usia 13 – 18 tahun: 963 kasus

4. Pelaku kekerasan seksual dalam ranah komunitas.

  • Usia di bawah 5 tahun: 10 kasus
  • Usia 6 – 12 tahun: 86 kasus
  • Usia 13 – 18 tahun: 307 kasus

Penjelasan psikolog

Psikolog Elizabeth T. Santosa atau yang akrab disapa Lizzie melihat memang jumlah pelaku kekerasan seksual di bawah umur 18 tahun semakin tinggi dari tahun ke tahun.

“Seperti yang sudah diketahui oleh awam, remaja sangat rentan terhadap pengaruh perilaku negatif seperti adiksi narkoba, seks bebas, prilaku kriminal dan jenis kenakalan remaja lainnya (juvenile deliquency),” jelas Lizzie.

Dalam masa itu, Lizzie menambahkan bahwa terjadi transisi hormonal yang memengaruhi cara berpikir remaja.

“Menurut teori Jean Piaget, remaja dapat berpikir abstrak. Namun, perkembangan kognitif terhadap sistem moral belum berkembang sempurna sehingga mereka mudah terjerumus perilaku negatif tanpa mempertimbangkan konsekuensi hukum di masa depan,” katanya.

Selain itu, berdasarkan penelitian dari Psikolog David Elkind, transisi hormonal dalam diri remaja memiliki dampak terhadap pembentukan karakter remaja.

Lizzie pun menjelaskan 6 karaker kelemahan remaja yang menunjukkan bahwa mereka belum ‘matang’ di bawah ini.

1. Idealism vs criticalness
Perspektif dunia yang ideal terlampau jauh dari realitas hidup yang sesungguhnya.

2. Argumentativeness
Senang berdebat karena kemampuan logika berpikir yang maju pesat.

3. Indecisiveness
Kurang memiliki kemampuan pengambilan keputusan dari banyak pilihan yang dimiliki sehingga seringkali bimbang (dalam bahasa gaul disebut ‘ababil’).

4. Self-Conciousness
Sensitif dan fokus terhadap pendapat orang lain tentang dirinya sehingga kurang kepercayaan diri mengambil keputusan mandiri. Perlu persetujuan teman sebaya (kelompok).

5. Apparent Hypocracy
Perspektif ideal dan cita-cita yang seringkali terlampau jauh dan tidak sebanding dengan usaha serta pengorbanan ditampilkan.

6. Specialness and invulnerability
Merasa diri istimewa dan ‘kebal’ dari konsekuensi serta norma masyarakat.

Peran orangtua

Lizze percaya bahwa pola asuh orangtua kepada anak merupakan faktor risiko tertinggi dari perilaku kekerasan seksual.

Maka dari itu, Lizzie memberikan beberapa cara agar orangtua menjaga anak supaya tidak menjadi korban dan pelaku kekerasan seksual. Berikut ini merupakan 4 cara tersebut.

  1. Pendidikan seksual sejak dini sesuai dengan usia anak yamg diberikan oleh narasumber terlatih.
  2. Supervisi orangtua dalam semua aktivitas dan kegiatan anak sehari-hari.
  3. Terlibat aktif di lingkungan sekolah bersama orangtua lain dan guru, seperti Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) untuk berdiskusi mengenai topik atau isu permasalahan anak secara regular.
  4. Menjadi teladan perilaku bagi anak dalam menerapkan nilai-nilai kesantunan, moral, keagamaan dan lain lain dan saling berkomunikasi dan terbuka satu sama lain.

Pendidikan seksual bukanlah suatu hal yang tabu. Pengajaran mengenai seksualitas menjadi penting karena bisa membantu anak dan remaja keluar dari risiko penyakit alat reproduksi, pelecehan serta kekerasan seksual. 

Melansir tulisan Psikolog Klinis Dewasa Inez Kristanti dalam situs resmi Durex, edukasi seksualitas dari orangtua untuk anak atau remaja tidak sekadar memebrikan informasi tentang apa seks dan kontrasepsi. 

Akan tetapi, edukasi seks menumbuhkan perasaan serta kemampuan bertanggungjawab anak serta remaja dalam membuat keputusan seksualnya berdasarkan informasi yang kredibel dan nilai-nilai mereka. 

https://www.kompas.com/edu/read/2020/09/28/210620471/psikolog-ini-alasan-banyak-remaja-jadi-pelaku-kekerasan-seksual-anak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke