Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Guru, Terapkan "Making Connection" untuk Tingkatkan Literasi Siswa

KOMPAS.com – Masa pandemi tidak boleh menjadi penghalang bagi guru untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa. Untuk membuat kegiatan membaca lebih bermakna, Debbie Khumara selaku praktisi pendidikan mengajarkan strategi making connection.

“Jadi ketika kita membaca itu bukan cuman selesai membaca tutup, udah habis selesai ceritanya, tidak. Akan tetapi, banyak yang bisa kita bahas dari bacaan itu,” jelas Debbie pada Senin (21/9/2020) lewat akun YouTube REFO Indonesia.

Dengan memperkenalkan strategi making connection atau membuat koneksi, Debbie ingin guru bisa mengajarkan siswa untuk menghubungkan satu bacaan dengan 3 hal.

Koneksikan 3 hal ini saat membaca

Berikut ini merupakan tiga hal yang harus dikoneksikan saat membaca.

1. Text-to-self

Debbie mengatakan, tahap ini merupakan yang paling mudah. Di mana kita menghubungkan diri sendiri dengan bacaan.

“Ketika merenungkan bacaan kepada diri sendiri, kita tidak memberikan pertanyaan, tetapi kita mengharapkan anak-anak menjawab, anak-anak menuliskan,” imbuhnya dalam web seminar bertajuk “Kiat Membuat Membaca Menjadi Lebih Bermakna”.

Sebagai panduan agar anak-anak bisa menulis konektivitas dengan komprehensif, guru bisa memberikan beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.

  • Bagian cerita ini mengingatkan saya pada….
  • Saya merasa seperti…. (tokoh), ketika saya……
  • Bagaimana cerita ini serupa dengan kehidupan saya?
  • Bagaimana cerita ini berbeda dengan kehidupan saya?
  • Apa yang saya rasakan ketika membaca cerita ini?

2. Text-to-text

Dalam tahap ini, siswa mengkoneksikan bahan bacaan dengan bacaan lainnya. Namun, siswa juga bisa mencari persamaan dan membandingkan bacaan tersebut dengan film maupun lagu yang sebelumnya sudah mereka ketahui.

“Setiap kali membaca kita punya pengetahuan. Otak kita kan kayak komputer ya, punya memori. Memori yang pernah ada di sini harus kita hubungkan dengan apa yang kita baca. Jadi semakin banyak kita baca, semakin kita connect, makanya disebut making connection,” ujar Debbie.

Untuk membantu anak-anak mengkoneksikan bacaan, guru bisa memberikan pertanyaan berikut ini.

  • Bagaimana bacaan (cerita) ini mengingatkan saya pada bacaan lain?
  • Bacaan ini serupa dengan bacaan yang pernah saya baca yaitu….
  • Bacaan ini berbeda dengan bacaan yang pernah saya baca..
  • Saya pernah membaca cerita yang serupa dengan cerita ini, yaitu.....

3. Text-to-World

Bagi Debbie, tahap ini paling sulit karena ketika sudah membaca, siswa harus bisa menghubungkan bacaan tersebut dengan dunia sekitar.

“Tidak harus dengan moral values bacaan, tetapi bisa berhubungan dengan fakta dan apa yang terjadi di sekitarnya,” jelasnya dalam salah satu rangkaian acara Indonesia Edu Webinars.

Guru bisa membantu anak-anak untuk mengekspresikan pemikirannya dengan mengajukan beberapa pertanyaan di bawah ini.

  • Bagaimana bacaan ini mengingatkan saya pada dunia sekitarnya?
  • Bacaan ini membuat saya berpikir mengenai …. (kejadian di lingkungan sekitarnya atau di dunia)
  • Bacaan ini membuat saya berpikir mengenai…..
  • Bagian cerita ini(....) berhubungan dengan dunia sekitar saya…..

Ekspresikan sesuai usia

Pada pendidikan anak usia dini yang belum bisa menulis, guru bisa meminta pendapat murid secara lisan maupun lewat gambar. Sementara itu, siswa sudah memiliki kecakapan menulis, bisa mengekspresikannya dengan bentuk tulisan.

“Yang penting adalah dia mengekspresikan, menghubungkan bacaan dan mengekspresikan dirinya,” tutur Debbie.

Saat ini, guru harus mementingkan proses anak-anak untuk mengekspresikan pikirannya ke luar melalui medium apapun. Jangan fokus dalam menilai penggunaan tanda baca dan kaidah bahasanya terlebih dahulu.

“Anak-anak kita berikan kesempatan untuk dia menulis idenya dulu. Biar idenya mengalir, nanti ketika sudah mengalir, proses kedua adalah mereka mengedit tulisan mereka sendiri,” ujar Debbie.

Literasi rendah, guru harus bertindak

Dalam web seminar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama REFO, Debbie mengungkapkan rendahnya nilai dari Program Penilaian Pelajar Internasional (Programme for International Students Assessment atau PISA) di Indonesia pada 2018.

Berdasarkan pemberitaan dari Theconversation.com, hasil pengukuran global untuk siswa berusia 15 tahun terhadap kemampuan membaca, matematika, dan sains berada di bawah rata-rata. Skor PISA pada 2018 juga menurun dari hasil 3 tahun lalu.

Pasalnya, PISA merupakan tes yang mencerminkan apakah siswa di Indonesia bisa mengaplikaskan pengetahuan mereka pada situasi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari tiga jenis kemampuan literasi, anak-anak di Indonesia memiliki rata-rata skor paling rendah dalam literasi membaca (371). Kemudian diikuti dengan rata-rata kemampuan literasi matematika (379) dan sains (396).

PISA menduga, penyebab utama buruknya kemampuan literasi siswa secara umum di Indonesia karena rendahnya kualitas guru dan disparitas mutu pendidikan. Selain itu, PISA juga menuliskan, sebab lain berasal dari kegagalan Gerakan Literasi Sekolah untuk mendongkrak kualitas literasi pada siswa.

Melihat data tersebut, Debbie pun mencoba untuk mengenalkan strategi making connection. Menurutnya, guru harus terus mencoba hal baru ini agar dapat membangun kemampuan literasi pada anak

“Ini hal baru dan tidak mudah diterapkan, tetapi harus dicoba. Kita coba enggak bisa cuman sekali, sekali mungkin belum tentu berhasil. Kita coba beberapa kali. Akan tetapi ketika itu berhasil, anak-anak kita bisa punya skill itu, punya kemampuan itu, membaca dan kemampuan literasi itu. Itulah yang kita mau tuju sehingga soal-soal PISA seperti tadi itu hal yang gampang,” pungkasnya.

https://www.kompas.com/edu/read/2020/09/23/103545871/guru-terapkan-making-connection-untuk-tingkatkan-literasi-siswa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke