KOMPAS.com - Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi tontonan wajib semasa Orde Baru, terlebih setiap akhir September.
Film yang disutradarai oleh Arifin C Noer ini diputar secara masif di berbagai bioskop maupun televisi pemerintah, TVRI.
Anak-anak sekolah serta pegawai pemerintah dikerahkan untuk menyaksikan film Pengkhianatan G30S/PKI.
Film berdurasi hampir tiga jam itu menampilkan bagaimana kekejaman PKI yang menculik dan membunuh jenderal TNI Angkatan Darat. Dalam film, digambarkan pula peran penting militer dalam melindungi Pancasila sebagai dasar negara dari ancaman komunisme PKI.
Melalui film Pengkhianatan G30S/PKI, pemerintah Orde Baru menanamkan kebencian terhadap simpatisan, kader, bahkan orang-orang yang dituduh komunis. Dengan demikian, ada kesan bahwa seolah pembantaian yang dilakukan pasca-Gerakan 30 September 1965 itu dapat dibenarkan.
Baca juga: Kelapangan Hati Gus Dur Saat Meminta Maaf atas Pembantaian 1965-1966
Selama kekuasaan Orde Baru, narasi tentang PKI sebagai dalang pembantaian jenderal Angkatan Darat mengakar kuat. Terlebih pada masa itu film Pengkhianatan G30S/PKI seringkali menjadi rujukan banyak orang terkait peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965.
Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 membuat film Pengkhianatan G30S/PKI tidak lagi ditayangkan secara masif. Memasuki era reformasi narasi tentang PKI sebagai dalang di balik Gerakan 30 September 1965 agak mereda.
Dalam Harian Kompas, 24 September 1998, Menteri Penerangan (Menpen) saat itu, Muhammad Yunus mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, maupun Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Muhammad Yunus dalam Rapat Kerja antara Menpen dengan Komisi I DPR di Jakarta, Rabu (23/9/1998).
Baca juga: Panglima Andika soal Keturunan PKI Ikut Seleksi TNI: Saya Patuh Peraturan Perundangan