KOMPAS.com - Teori konspirasi chemtrail yang sudah dinyatakan sebagai hoaks belakangan ini ramai beredar di media sosial.
Untuk diketahui, chemtrail adalah klaim mengenai penyemprotan zat kimia berbahaya menggunakan pesawat untuk tujuan tertentu, misalnya merekayasa penyakit di masyarakat.
Narasi-narasi terkait chemtrail yang baru-baru ini beredar dibumbui dengan klaim bahwa varian Omicron merupakan penyakit rekayasa yang disebabkan oleh penyemprotan zat kimia.
Meski chemtrail sudah dinyatakan sebagai hoaks, dan berbagai penjelasan soal varian Omicron mudah diakses, mengapa hoaks terkait keduanya masih banyak beredar dan bahkan dipercaya?
Baca juga: [Fakta Bicara] Chemtrail adalah Teori Konspirasi yang Tidak Terbukti
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, mengemukakan pendapatnya terkait maraknya hoaks mengenai chemtrail dan varian Omicron.
Menurut Drajat, kondisi pandemi Covid-19 yang belum menununjukkan tanda-tanda berakhir, dan malah bermunculan varian-varian virus corona baru, memunculkan perasaan ketidakpastian bagi masyarakat.
"Jadi ketika muncul Delta, kemudian muncul Omicron, kemudian nanti mungkin muncul yang lain lagi, nah ini menyebabkan masyarakat itu masih terus bertanya tentang apa yang sedang terjadi dan bagaimana menyelesaikan seluruh masalah ini," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Jumat (18/2/2022).
Baca juga: [HOAKS] Video Serbuk Omicron dan Pilot dengan Badge #TEAMCHEMTRAIL
Ia mengatakan, kondisi masyarakat yang demikian itu wajar terjadi karena saat ini banyak orang sedang mengalami kepanikan dan ketidakpastian terkait masalah ini.
Terlebih, selama ini segala sesuatu yang terkait pandemi selalu mengikuti atau berdasarkan keputusan dari satu sumber saja, yakni negara atau pemerintah.
"Pak Menteri, misalnya, ngomong 'Ini Februari berakhir', 'Ini semua harus berhenti', 'Ini kemudian sekolah harus ditutup dulu'. Nah, karena ini sifatnya dikendalikan oleh negara, state, struktur, maka kemudian orang tidak punya kendali utama atas dirinya," ujar Drajat.
Hal itu kemudian menyebabkan rasa ketidakpastian yang dimiliki orang-orang menjadi semakin kuat, karena mereka tidak lagi memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu dan bergantung pada kebijakan pemerintah.
Drajat mengatakan, situasi ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat kemudian membuat mereka akhirnya berusaha mencari jawaban atas ketidakpastian itu.
"Apa pun jawaban yang ada itu dikonsumsi, termasuk jawaban yang hoaks itu dikonsumsi. Apalagi dibantu oleh media sosial," tuturnya.
Menurut Drajat, dalam konteks chemtrail, bisa jadi teori tersebut awalnya hanya berkembang dan dipercaya oleh segelintir atau sekelompok kecil orang saja.
"Tetapi karena kecepatan kehidupan ini semakin tinggi dengan media sosial, dengan internet, dengan share dan like, itu semakin cepat, maka isu-isu yang sifatnya masih menjadi alternatif itu menjadi disukai orang," ucap Drajat.
"Artinya, kalau isu-isu yang sudah pasti seperti 'Corona bisa ditangani dengan vaksin' itu kan sudah pasti dan tidak menjawab masalah, maka teori-teori dan pemikiran-pemikiran yang tidak pasti seperti teori konspirasi itu menjadi alternatif yang masih akan dikonsumsi," ujarnya.
Menurut Drajat, meskipun teori konspirasi tidak terbukti atau bahkan keliru, namun karena masyarakat merasa belum ada jawaban yang pasti dan final mengenai pandemi, maka hal-hal semacam itu masih akan terus dicari oleh masyarakat.
"Yang penting adalah bahwa ketika ada kegiatan-kegiatan yang mengandung unsur-unsur yang bisa diduga atau disalahtafsirkan ke dalam berita-berita hoaks itu, itu segera ada pengumuman, informasi yang pasti, yang jelas, yang itu bisa dijadikan sebagai counter informasi," kata Drajat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.